Selasa, 01 Juli 2014

Jakarta Sepanjang Palmerah-Benhil

Jumat (20/6), sekitar pukul 13.00. Terik surya lagi murah-murahnya. 
Bersepeda motor mengejar janji yang kudu cepat. Eeehh...malah motor setia saya jebrat jebret tanda-tanda "masuk angin". Hwaaa...bener juga, mesin matek di jalan.
Sontak menolak mengeluh, energi paling ramah di bumi, alias jurus kaki mengayuh dipraktikan menuju SPBU terdekat di kawasan Bendungan Hilir. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari titik si bejo (nama motor tahun 2001 saya) ngadat.
Lumayan berat juga, namanya juga motor cowok bertangki agak gedean. Tapi, pantar mundung. 
Sekitar 100 meter mengayuh kaki di atas bodi motor ngadat, pengendara motor bebek mendorong footstep motor belakang saya. 
"Äyo, bang, saya dorong. Kenapa?" kata dan tanya si pengendara. Saya pun menoleh karena kaget (campur senang tentunya hehehee...). Ohh, mereka ternyata dua pemuda tukang AC, yang kelihatan dari bawaannya: tabung freon ijo, kotak plastik isi kabel, tapi tanpa tangga.
    "Iya, neh, motor keabisan bensin," sahut saya antusias sembari ngos-ngosan dikit (hadeuuhhh betis cenut-cenut, napas tersengal-sengal, bodi kayak mandi sauna)
Sekitar 500 meter saya menikmati dorongan hingga masuk pintu SPBU. 
"Makasihh banget, banggg...." kata saya girang sambil melambaikan tangan kanan (kalau dua-duanya ambruk dong saya). Ayem rasanya, karena janji molor dikit tetap akan kekejar. 
Blaik, ternyata antre sekitar 10 motor. Tapi, yang penting segera "greng" lagi, nih, bejo. 
Apa daya, ternyata setelah membuka tangki, bensin masih ada separoh. Lhhaaahhh???
Dorong sana, dorong sini, masukin gigi sambil lari, bejo tetap membisu. Mengeram bentar, lalu brenti total. Akhirnya, terima nasib mencari bengkel yang entah dimana dan seberapa jauh.
Pasrah.
Bengkel jadi tujuan berikutnya. Yang ternyata butuh mengayuh lagi. Kali ini lebih jaouhhhh...
Singkat kata: bengkel tertuju, bejo ditangani, motor sehat lagi. 30 menit!
Dan, janji akhirnya tak terkejar. Tak ada pilihan, janji dibatalkan hingga 10 hari ke depan. 
Tak mengapa buat saya. Bukankah rencana seringkali terinterupsi hal-hal di luar rencana?
Hari itu, di tengah terik surya, Jakarta memberi penegasan lagi: bahwa ibu kota juga punya wajah ramah, yang selama ini mungkin hanya terpikir terjadi di mBantul, Solo, Sragen, Imogiri, atau kawasan udik lain sono. 
***
Sebenarnya, ini pengalaman kedua saya dengan kejadian yang mirip banget. Yang pertama dulu, kehabisan bensin beneran, lalu didorong pengendara motor dari belakang di kawasan Palmerah Barat. 
Waktu itu, meski saya terharu, saya tak terlalu heran. Si abang itu ternyata satu daerah dengan saya. Dia bilang, "Jogjane pundi, mas (yogyanya mana)?" Harap maklum, motor masih ber-plat "AB".
Tapi, kejadian kedua Palmerah-Benhil tadi itu, dilihat dari logatnya, rasanya Sunda teaaa....(baca: teaakk, bukan teh).
Saluuuttt...haturnuhun, kang. 
***
Di lain hari, menumpang metromini merah Palmerah-Kebayoran Lama pada sepotong siang. Waktu naik, penumpang hanya lima orang, termasuk saya. Bergerak 10 meter, si sopir memberi kode pada sang kernet: "kui mbokde kon melu sisan" (itu ibu-ibu tua ditawarin naik sekalian). 
Saat itu, seorang nenek yang kecil tapi tampak kuat menggendong bakulan anyaman bambu berjalan pelan di tepi jalan raya. 
"Ayoo melu mbokde," teriak di kernet.
"Ooo...kowe, tho," sahut si nenek sambil tertawa (tapi ga pake nginang segala, yaa).
Singkat kisah, bergerak sekitar 1 kilometer, si nenek harus turun. 
"Ïki duite (ini uangnya)," kata si nenek sembari menyodorkan uang Rp 2.000. 
"Halahh...pun mboten usah (sudahlah, tidak usah)," kata si sopir. 
"Wooo...yo, nuwun, yooo," respons si nenek lagi.
 Pyaaarrrr....
Senang rasanya, malah rasanya kok girang mendengar adegan singkat berbahasa jawa itu. Bukan karena basa jawanya, tapi kesannya.
Sepuluh tahun merayapi aspa, makadam, dan tanah Jakarta saat panas dan ujan, baru kali itu saya tahu ada "transaksi" sosial yang sebenarnya urusannya bisnis itu, saya dengar langsung.
Plonnggg....
Jakarta, bersama dua kisah mengayuh motor tadi, sebenarnya ada ruang saling berbagi dengan tulus. Saling menolong tanpa mengenal satu sama lain;
Memedulikan di tengah keangkuh-riuhan Jakarta; 
Dan, itu sangat indah dan unforgetable. 
Lebih dari itu, sangat inspiratif. 
Kalau saja banyak kisah dan kejadian seperti ini, mungkin Jakarta bukan lagi ibu kota yang sering diasosiasikan dengan ibu tiri yang jahat dan bengis. 
Mungkin memang ada bagian itu, tetapi mudah-mudahan terus tergerus dan menghilang. 
Poros Palmerah-Bendungan Hilir adalah jalur pengecualian kali itu: sungguh inspiratif, memorable, dan layak diserukan doa kejadian hal-hal yang sama dan berkembang. 
 
  

Tidak ada komentar: