Selasa, 15 Juli 2014

Brasil, Antara Cinta, Cibir, dan Kedewasaan

Perhelatan Piala Dunia Brasil 2014 usai 13 Juli 2014 dengan kemenangan tim "Panzer" Jerman setelah menekuk tim Argentina (hwaaa...tim favorit saya). Bagaimanapun, congrats buat para penggila Jerman. Bagaimanapooon, it's just a game, khaannn....

Nhaa, ini menariknya.

Ngomong-ngomong soal game, menarik sungguh melihat nasib tim Brasil, tim tuan rumah yang digadang-gadang bakal menjadi kampiun PilDun kali ini. Namun, apa daya, mereka hancur dicukur hampir botak sama si Jerman tadi, 7-1. Bener-bener edan sak edan-edunnya.

Lebih edian lage, di babak pertama aja udah dibantai 4-0.  Ingat, ini Brasil, bro n sis, bukan PSSI (lhoooo...njur kenapa? maap para PSSI mania, hanya realistis ajah)
Saya yang bukan penggila Brasil, bukan orang Brasil, tak bertaut apapun dengan orang Brasil, belum pernah ke Brasil, dan belum menginjakkan kaki di Amazon saja ikut pilu melihat wajah-wajah suporter tim Tango yang lesu dan nganga tak percaya tim mereka dipermainkan Jerman. Kasihan sungguh.

Tapi, ini bukan soal kasihan mengasihani. Ingat, ini hanya permainan.

Usai hari pembantaian di laga semifinal itu (empat besar kalau belum paham), media-media menyorot tajam dan nyinyir terhadap tim Brasil. Apalagi media-media di Brasil, sono. Ada yang meminta si pelatih, Felipe Scholari mundur, dll.

Namun, waktu terus berjalan.

Pada babak perebutan juara 3-4, Brasil melawan Belanda (ditekuk Argentina dalam adu penalti, 4-2). Dengan semangat juang, seakan hendak menghapus deras air mata dan nganga tak percaya para suporter pada laga sebelumnya, Thiago Silva dkk berjibaku mati-matian. Mereka berlari dan terus berlari, setelah statistik laga sebelumnya ketahuan sebagai tim paling malas berlari (maen bola kok males lari ki kepriben...). Ada bola dikejar, lepas bola langsung dikejar lagi, ga ada bola tetap ngejar (kalau ini hiperaktif kayaknya hahaha...).

Namun, sekali lagi apa daya sodara-sodaraaa. Ternyata oh ternyataa para pemirsaaaa...mereka kalah maning. Kali ini lumayanlah, "hanya" 3-0. Tetap saja kalah dan memalukan. Lagi-lagi air mata mengalir deras. Tak sedikit anak-anak yang menyaksikan pahlawan mereka ditekuk, sesenggukan. Pula para remaja, pemuda, dan dewasa. Nganga lagi tak percaya.

Segera saja, hujan cacian dan sumpah serapah muncul dari para penonton dan pemuja. Bahkan, sejak pertandingan belum usai pun, tak sedikit mereka yang memilih keluar stadion. Lesu selesu-lesunya pokoknya.

Bagi saya yang pernah nonton langsung sepakbola tim kebanggaan di stadion, itulah tabiat para suporter bila ada nada-nada tim akan kalah. Bahkan, tak jarang melempar botol air kemasan atau malah batu ke lapangan. Cacian mah sepeleeee kaleee...itu fakta yang ada di negeri tercinta dengan banyak pencoleng ini.

Kembali ke Brasil lagi. Sungguh terkejut saya, ketika nonton wawancara TV dengan salah satu suporter perempuan Brasil. Dengan wajah terkendali, tak menangis atau kecewa, ia merespons kekalahan itu dengan rasional: "Saya tentu berharap Brasil menang kali ini. Tapi, mereka kalah lagi. Saya tetap menghormati mereka, yang sudah berjuang dan mewakili negara dengan sekuat tenaga dan bermain baik."

Waahhh...hebat bener tuh perempuan. Katanya, perempuan lebih kuat sisi emosionalnya. Lha, ini tidak. Ia tenang, rasional, dan teratur. Karakter beginilah sesungguhnya yang harus dimiliki setiap pendukung apapun.

Ingat, bagaimanapun, sepakbola adalah permainan. It's a game! Bermainlan sebaik mungkin, sisanya biarkan dewa-dewi keberuntungan yang turut bekerja. Jika permainan dimasukkan dalam nalar lebih dari permainan, maka sebenarnya kita tak sedang menikmati bermain atau permainan. Tapi, membunuh kesenangan itu sendiri. Memang mudah ngomongnya, tapi bukan berarti harus membohongi diri, tho? Memang begitu adanya, bukan?

Salut sungguh buat si mbak Brasil tadi. Dari mulutnya, mengalir cinta yang tak berubah jadi cibir. Itulah arti kedewasaan.    

Kalau menang-kalah dalam konteks Pilpres 2014 gimana, ya? Nhaaa...ini yang masih ngeri.
  



 
    
 

Selasa, 01 Juli 2014

Inspirasi dalam Dua Menit

Minggu (15/6) pagi waktu Indonesia. 
Piala Dunia Brasil 2014 menampilkan duel Jepang-Pantai Gading (berharga banget nih pantai). 
Jepang mendominasi permainan dengan keunggulan 1-0 pada menit ke-16. Pertandingan seperti tak berimbang. Pantai Gading dikurung. Jepang sepertinya hendak pesta pagi itu. 
Hingga, ya, hingga menit ke-62, sang pelatih Pantai Gading menurunkan Didier Drogba, pemain kawakan eks bintang Chelsea yang tangguh hingga dijuluki "Drogbazooka". 
Lalu, apa yang terjadi lapangan sodara-sodaraaa...
Ya, benar: GOLLLLL....
Sejak detik pertama Droga masuk, sungguh ajaib, permainan seperti berubah total. Energi pemain Pantai Gading seperti dipompa dua kali lipat lebih. Sebaliknya, para pemain tim samurai biru seperti salah tingkah. Sungguh aneh binti ajaibah. 
Bagaimana nggak aneh. Dua menit sejak Drogba merumput, timnya menyamakan kedudukan, 1-1. Selesai? Belum, sodara-sodaraa.
Dua menit setelah itu, lagi-lagi Pantai Gading ngegolin. Edan. Pantai Gading berbalik unggul, 2-1. 
Bagi saya yang menonton langsung pertandingan itu, sungguh luar biasa efek Drogba (bukan efek Jokowi yee...kekekeee) 
Bayangkan, empat menit sejak si Drogba masuk, keadaan berbalik total hingga akhirnya pesta Jepang yang seolah-olah akan mereka lakoni pascapertandingan itu, sirna. Samurai biru dibekuk tim Gading. 
Pelatih Jepang tak habis pikir dengan perubahan ekstrem itu. Seolah-olah, satu tim Jepang berhadapan dengan Drogba seorang. 
"Dia seorang juara," sebut pelatih Pantai Gading, merujuk Drogba. 
Drogba sendiri merendah, bahwa justru yunior-yuniornya di tim itulah yang pantas diapresiasi sungguh. Well...hebat si Drogba. Dalam konteks ini, ia rendah hati sekaleee....
Apapun komentar si A dan si B, hingga si Z, buat saya inilah arti nyata I.N.S.P.I.R.A.S.I. 
Ya, bukan karena kata, bukan karena hal lain, tapi cukup dengan hadir saja, mampu mengubah sesuatu menjadi menakjubkan, dan sangat positif hingga mencapai tujuan. 
Seringkali, saya mencari apa sesungguhnya inspirasi itu. Minggu dinihari itu, Drogba menjadi anekdot, apa dan bagaimana sesungguhnya inspirasi bekerja dan apa itu inspirator. 
Saa itu, Drogba tak menghasilkan gol. Tapi, bermain bagus.  
Yah, itulah inspirasi. 
Inspirator tak harus menonjol. Tak harus berteriak-teriak. Ia bisa saja kalem, tenang, dan menjalankan perannya sebaik mungkin. 
Sebab, kehadirannya lebih dari itu.
Terima kasih, mas bro Drogba.   




Jakarta Sepanjang Palmerah-Benhil

Jumat (20/6), sekitar pukul 13.00. Terik surya lagi murah-murahnya. 
Bersepeda motor mengejar janji yang kudu cepat. Eeehh...malah motor setia saya jebrat jebret tanda-tanda "masuk angin". Hwaaa...bener juga, mesin matek di jalan.
Sontak menolak mengeluh, energi paling ramah di bumi, alias jurus kaki mengayuh dipraktikan menuju SPBU terdekat di kawasan Bendungan Hilir. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari titik si bejo (nama motor tahun 2001 saya) ngadat.
Lumayan berat juga, namanya juga motor cowok bertangki agak gedean. Tapi, pantar mundung. 
Sekitar 100 meter mengayuh kaki di atas bodi motor ngadat, pengendara motor bebek mendorong footstep motor belakang saya. 
"Äyo, bang, saya dorong. Kenapa?" kata dan tanya si pengendara. Saya pun menoleh karena kaget (campur senang tentunya hehehee...). Ohh, mereka ternyata dua pemuda tukang AC, yang kelihatan dari bawaannya: tabung freon ijo, kotak plastik isi kabel, tapi tanpa tangga.
    "Iya, neh, motor keabisan bensin," sahut saya antusias sembari ngos-ngosan dikit (hadeuuhhh betis cenut-cenut, napas tersengal-sengal, bodi kayak mandi sauna)
Sekitar 500 meter saya menikmati dorongan hingga masuk pintu SPBU. 
"Makasihh banget, banggg...." kata saya girang sambil melambaikan tangan kanan (kalau dua-duanya ambruk dong saya). Ayem rasanya, karena janji molor dikit tetap akan kekejar. 
Blaik, ternyata antre sekitar 10 motor. Tapi, yang penting segera "greng" lagi, nih, bejo. 
Apa daya, ternyata setelah membuka tangki, bensin masih ada separoh. Lhhaaahhh???
Dorong sana, dorong sini, masukin gigi sambil lari, bejo tetap membisu. Mengeram bentar, lalu brenti total. Akhirnya, terima nasib mencari bengkel yang entah dimana dan seberapa jauh.
Pasrah.
Bengkel jadi tujuan berikutnya. Yang ternyata butuh mengayuh lagi. Kali ini lebih jaouhhhh...
Singkat kata: bengkel tertuju, bejo ditangani, motor sehat lagi. 30 menit!
Dan, janji akhirnya tak terkejar. Tak ada pilihan, janji dibatalkan hingga 10 hari ke depan. 
Tak mengapa buat saya. Bukankah rencana seringkali terinterupsi hal-hal di luar rencana?
Hari itu, di tengah terik surya, Jakarta memberi penegasan lagi: bahwa ibu kota juga punya wajah ramah, yang selama ini mungkin hanya terpikir terjadi di mBantul, Solo, Sragen, Imogiri, atau kawasan udik lain sono. 
***
Sebenarnya, ini pengalaman kedua saya dengan kejadian yang mirip banget. Yang pertama dulu, kehabisan bensin beneran, lalu didorong pengendara motor dari belakang di kawasan Palmerah Barat. 
Waktu itu, meski saya terharu, saya tak terlalu heran. Si abang itu ternyata satu daerah dengan saya. Dia bilang, "Jogjane pundi, mas (yogyanya mana)?" Harap maklum, motor masih ber-plat "AB".
Tapi, kejadian kedua Palmerah-Benhil tadi itu, dilihat dari logatnya, rasanya Sunda teaaa....(baca: teaakk, bukan teh).
Saluuuttt...haturnuhun, kang. 
***
Di lain hari, menumpang metromini merah Palmerah-Kebayoran Lama pada sepotong siang. Waktu naik, penumpang hanya lima orang, termasuk saya. Bergerak 10 meter, si sopir memberi kode pada sang kernet: "kui mbokde kon melu sisan" (itu ibu-ibu tua ditawarin naik sekalian). 
Saat itu, seorang nenek yang kecil tapi tampak kuat menggendong bakulan anyaman bambu berjalan pelan di tepi jalan raya. 
"Ayoo melu mbokde," teriak di kernet.
"Ooo...kowe, tho," sahut si nenek sambil tertawa (tapi ga pake nginang segala, yaa).
Singkat kisah, bergerak sekitar 1 kilometer, si nenek harus turun. 
"Ïki duite (ini uangnya)," kata si nenek sembari menyodorkan uang Rp 2.000. 
"Halahh...pun mboten usah (sudahlah, tidak usah)," kata si sopir. 
"Wooo...yo, nuwun, yooo," respons si nenek lagi.
 Pyaaarrrr....
Senang rasanya, malah rasanya kok girang mendengar adegan singkat berbahasa jawa itu. Bukan karena basa jawanya, tapi kesannya.
Sepuluh tahun merayapi aspa, makadam, dan tanah Jakarta saat panas dan ujan, baru kali itu saya tahu ada "transaksi" sosial yang sebenarnya urusannya bisnis itu, saya dengar langsung.
Plonnggg....
Jakarta, bersama dua kisah mengayuh motor tadi, sebenarnya ada ruang saling berbagi dengan tulus. Saling menolong tanpa mengenal satu sama lain;
Memedulikan di tengah keangkuh-riuhan Jakarta; 
Dan, itu sangat indah dan unforgetable. 
Lebih dari itu, sangat inspiratif. 
Kalau saja banyak kisah dan kejadian seperti ini, mungkin Jakarta bukan lagi ibu kota yang sering diasosiasikan dengan ibu tiri yang jahat dan bengis. 
Mungkin memang ada bagian itu, tetapi mudah-mudahan terus tergerus dan menghilang. 
Poros Palmerah-Bendungan Hilir adalah jalur pengecualian kali itu: sungguh inspiratif, memorable, dan layak diserukan doa kejadian hal-hal yang sama dan berkembang. 
 
  

Selasa, 20 Mei 2014

Rp 3.000 dan Tanya Tak Terjawab

Hari Selasa, pukul 12.30 WIB.

Singgah di kerumunan pasar klithikan di dekat pintu keluar Stasiun Kebayoran Lama. Baru saja berhenti melangkah di depan sepetak lapak, belum lagi mata berhenti menyapu obyek, tiba-tiba seorang perempuan mengagetkan saya.

"Maaf, om, maaaaff....," kata dia sambil mengulurkan tangan. Wajahnya putih bersih berkacamata minus entah plus. Malah, wajahnya "bau-bau" indo gitu. (emang etnisitas bisa ketahuan dari baunya ya? hehehe...)

"Ya...," kata saya, sambil sedikit terhenyak kaget.

"Boleh minta uang tiga ribu saja," sambung dia to the point. Kulitnya putih bersih dengan rambut ikal yang tidak acak-acakan. Berbaju kaos putih, tertulis "HIGHSCOPE SCHOOL". (Saya tahu nama sekolah itu).

Saya diam sejenak. Lalu, "Hah? Bener mbak nggak punya uang?" lanjut saya lagi sembari memandang tak percaya pada sosoknya yang minta uang tiga tibu rupiah. "Masa nggak punya sih, mbak? Bener nih?" tanya saya lagi sambil agak menyunggingkan senyum. (entah, dia menilai saya meremehkannya atau tidak. Saya hanya bermaksud mengonfirmasi "apa dia bener nggak punya uang??)

"Bener om. Mau saya pakai ngangkot pulang ke Joglo," timpalnya cepat. Jarak lokasi kami dengan kawasan Joglo lebih dari 10 kilometer kira-kira.

Saya masih seperti tak percaya. Sosoknya secara umum, sembari menyangklong tas yang tak juga lusuh menurut saya, tak mencerminkan ia kesusahan. Usianya saya perkirakan 35-an tahun. Saya masih belum merespons.

"Saya juga belum bayar uang sewa rumah, om. Beneerr...," katanya lagi. Lhaaa....apa hubungannya dengan saya mbak. Saya nggak ikut nempatin juga. lho. Tapi, bukan itu poinnya.

Saat itu, di saku baju saya memang sudah saya siapkan uang Rp 3.000 sejak dari rumah! Pecahan dua ribuan dan dua keping lima ratusan. Maksudnya, untuk ongkos metromini 608 sampai kantor saya. Lha kok, ya, ini pas banget, ya. Apa dia tahu isi saku baju saya sehingga meminta pas Rp 3.000. Kalau bener begitu, untung saya nggak taruh uang seratus ribu di saku baju hehehee....(terlalu berimajinasi).

Singkat kisah, saya relakan uang Rp 3.000 di saku saya. Si mbak langsung ngacir, sampai saya lupa dia mengucap terima kasih atau tidak, karena pikiran saya sungguh "ternganga" dengan kejadian itu: si mbak bersih, penampilan bukan orang kesusahan, minta uang di tengah bolong di tengah keramaian Rp 3.000 pas, dan lain-lain. (don't judge a book by it's cover, bukhaaann....)

Tanya saya lagi, kenapa kok saya yang dimintain gitu, lho. Atau, mungkin saya orang kesekian yang ia sasar. Tak masalah buat saya, entah dibohongi atau apa. Saya ikhlas, rela, dan tak menyoal lagi. Hanya sisa tanya yang terus ada.

Usai singgah, saya bergegas ngangkot bus menuju kantor. Menunggu 10 menitan, bus akhirnya melesat. Tak lama, dari belakang bus dengan tujuan sama menyusul sambil menekan klakson panjang. Rupanya, si sopir itu merasa waktunya diambil bus yang saya tumpangi. Sopir bus saya pun tak terima. Lalu, terjadilah kejar mengejar di jalur transjakarta yang sebenarnya bukan jalurnya.

Untuk apa semua itu? Sampai penumpang pada gelisah. Dan, ongkos per penumpangnya Rp 3.000. Nhaaa??? Ini "hanya" demi uang Rp 3.000 lageeee....?! Kok pas lagi, tadi ada mbak-mbak minta uang tiga ribu, sekarang bus kebut-kebutan demi tiga ribuan lagi. Hadeuuhh....

Apapun yang terjadi siang terik itu, saya merenungkannya. Ini ibu kota negara yang statusnya  bersanding dengan ibu kota-ibu kota negara lain. Di tengah kecamuk riuh jakarta yang juga pusat niaga, jasa, dan finansial, "cuplikan" kisah yang saya alami adalah nyata.

Ini kisah tentang uang Rp 3.000 dan tanya-tanya kenapa yang saya tak juga memperoleh jawabnya. Kemana, siapa, dan ada apa sebenarnya dengan si mbak "indo" tadi? Lalu, sampai mana kebut-kebutan bus itu berakhir? Entahlahh.... 

   

   

Senin, 10 Februari 2014

“Vivere Pericoloso”

Jelang tengah malam, Kamis (7/2), sorangan wae meniti jalan pulang usai “mencangkul”, tersedot ingatan pada sosok mbak Meylan. Dari namanya, bisa ditebak dong. Ya, dia orang Batak hehehee...becanda. Dia keturunan Tionghoa.
Mbak Mey, mahasiswi Sastra Inggris di sebuah kampus di Semarang, itu, salah satu kakak senior saya, tapi beda jurusan. Kami dekat, karena aktif dalam kelompok persekutuan mahasiswa, gitu. Biasanya, usai nyanyi-nyanyi dan dengerin khotbah setiap Jumat, kami berkumpul di panggung di halaman kampus.
Terkadang, kami bertukar pikiran yang sok sok serius (tapi, seringan dia yang nukerin, sayanya diem aja: manggut-manggut hahahaa..) Serius itu, dalam arti merefleksi hidup sosial kami, nggak melulu yang rohani (tapi ini perlu juga dan kami lakukan).
Saya suka takjub dengan mbak Mey ini, sungguh!
Begini. Bukan bermaksud SARA, lho ya. Tapi, realita sosial dan kultural tengah tahun 1990-an itu, di dalam kampus negeri, yang namanya mahasiswa keturunan Tionghoa sangat amat langka sekali banget. Mendekati punah malah (Critically Endangered –kalau dalam perspektif ilmu biologi).
Lebih takjub lagi, mbak Mey ini aktif di dunia pers kampus fakultas sastra, yang saat itu menjadi “sarangnya” dedengkot-dedengkot aktivis PRD, SMID, dan ideolog-ideolog yang dikategorikan beraliran kiri. Kawan-kawan semacam itu, di tempat kami, kuliah hanyalah “pekerjaan” sampingan. Yang utama, kalau nggak diskusi-berteater-bikin majalah-nongkrong, ya hahahihi di kampus dengan tampilan khas: acak-acakan dan semi kumel hehehe (tapi nggak semua sih).
Tapi, kalau tiba waktunya urusan demo, antusiasnya bukan maen...ngalah-ngalahin anak-anak zaman sekarang yang desek-desekan antre tiket nonton konser JKT48, Coboy Junior, atau One Direction. Urusan kuliah? Bisa diwakilkan. Begitulah kira-kira.
Nah, dalam habitat seperti itu mbak Mey ini menjadi anomali. Dia aktif. Tapi, lebih ke diskusi dan urusan konten majalahnya. Bahkan, ia –yang sangat pemalu itu- pernah menjadi koordinator/acara besar yang dihelat majalah HW, milik kampus kami. Dan, kuliahnya beres res res....
Sungguh tak biasa. Saya salut sampai koprol-koprol kalau boleh. Saya sempat tanya, kenapa kok bisa ngejalanin itu semua? Saya lupa persis jawabannya. Tapi, kira-kira, ia mengatakan, bahwa semua tergantung kita yang ngejalanin. Yang terpenting, miliki tujuan dan bekal yang jelas atas kegiatan itu. Jangan sekedar ikut-ikutan, apalagi sok-sok an! Bukankah ikan laut tak lantas menjadi asin di lautan garam? Bagi saya, kakak ini hidup nyerempet-nyerempet bahaya alias vivere pericoloso –sok meminjam Bung Karno.
Bagaimana ga bahaya. Kalau ga kuat, bisa terseret arus deras yang berujung pada ketidakjelasan masa depan. Terjebak dalam aktivitas semata, tanpa tujuan akhir yang terukur.
Dari mbak Mey juga saya tangkap tips membaca buku. Ada banyak buku, mulai filsafat hingga ideologi-ideologi yang butuh disaring saat membacanya. Persoalannya, kadang diterima mentah-mentah oleh siapa saja yang sedang mencari jati diri, seperti halnya bahaya memahami tafsir ajaran-ajaran keagamaan. “Kalau membaca, kuasai dirimu. Bukan buku yang menguasai dirimu seluruhnya,” kata dia. (mbak Mey, ingatkah dikau?)    
Oya, bukan hal-hal serius saja yang kami obrolkan. Terkadang konyol juga. Pernah suatu siang usai nyanyi-nyanyi Jumat, dia berbisik:
 “Eh, Sit, tahu nggak. Tadi aku keliru masukin persembahan. Tak kiro lima ratus, ternyata lima ribu,” kata dia sambil nyengir kuda, mencuat gigi kelincinya.
“Hah? Apa mau diambil lagi, mbak? Gak apa-apa dituker,” kata saya spontan. Itu mungkin banget. Soalnya, kami-kami juga yang mengelolanya.
“Ngawur. Ya, biarin aja. Kebacut,” kata dia. Lalu, kami tertawa. Hahahahaaa....(lima ribu rupiah pada masa itu (tengah tahun 1990-an) tergolong besar untuk ukuran mahasiswa di daerah). Bisa buat makan beberapa kali. Oya, si kakak ini tinggal bersama om-nya yang pengusaha. Istilah Jakartanya: tajir, bro and sist! 
Di lain waktu, kakak yang tak pernah absen mengenakan bawahan rok, mengendara motor Honda Grand-nya (sering ngebut malah) itu- bercerita soal hati (ini bukan rahasia, kok, wkwkwwkkaa). Mbak Mey ini –sudah Tionghoa, nasrani pula- didekati salah satu pria sesama pengelola majalah kampus. Sebut saja Tupai hahahaa.... Persoalannya, ini cowok, sudah muslim, jawa pula (rasanya malah luar jawa). Selain itu, mbak Mey pernah bilang kalau ia mempertimbangkan hidup selibat (tak menikah).
“Lha, kok ngeyel ndeketin mbak Mey?” tanya saya.
“Tahu nggak, dia bilang, katanya ia masih melihat harapan,” kata mbak Mey.
Dasar tuh cowok anak sastra Indonesia, hidup dengan diksi-diksi puisi hehehee.... 
Dus, saya kaget.
“Lha, bener gitu, mbak? Ada harapan?” tanyaku lagi.
Kali ini, saya lupa mimik wajah si kakak. Seingatku, si kakak yang ajaib itu diem aja. (mbak Mey, jadinya sekarang gimanaaa??? –saya tak berkontak lagi sejak dia lulus tahun 1998-1999 dan denger-denger lanjut belajar Sosiologi Pedesaan di UGM)
Harapan, ya, harapan. Kata itu menancap di kepala saya hingga kini hampir 20 tahun! Bahkan, untuk sesuatu yang hampir pasti enggak saja, masih terus dikejar. Sekalipun harapan itu barangkali sangat subyektif, searah saja; bukan melibatkan dua pihak. Tapi, ini soal isi hati, bung. Asmara! Lemas sayaa....
Nah, menyambung soal harapan yang sepihak dan asmara tadi, ada kisah beda lagi. Ini bukan tentang mbak Mey, tapi kawan lain lagi (yang ini kudu secret).
Si pejantan ini memilih menunggu seseorang –bunga hatinya- yang milik orang lain. Ia sirami hatinya setiap waktu dengan harapan. Ia pompa juga jantungnya dengan rapalan-rapalan harapan yang sama, bahwa suatu waktu akan tiba harinya ia memiliki buah hati itu dalam arti sebenar-benarnya. Sesungguhnya. Mesti, ia hanya bisa menunggu takdir (itupun kalau memang ada).
Wah, saya linglung. Bisa, ya, begitu? Akhirnya tersadar juga, bahwa tak ada yang tak mungkin soal itu. Misteri akan selalu menarik dan menjadi semacam adrenalin hingga ia menjelma menjadi sebuah kebenaran. Saya mengangguk-angguk saja. Bahkan, saya hormat dengan ketekunannya meniti-sirami harapan, meski mungkin subyektif. Kata saya, nyerempet-nyerempet bahaya juga itu rasa. Vivere pericoloso.
Dan,
Malam berganti pagi,
Yang ada hanya gelap,
Deru menjadi sunyi,
Ada tanya enggan lenyap: tak terjawa(p)

Jumat, 07 Februari 2014

Tuhan Urus Riswanto

Riswanto 

Ini dia sahabat jiwa dan jarak jauh saya. Bertemu pertama tahun 2006 di Boven Digoel, ketika singgah sesaat di kantor Wahana Visi Indonesia untuk sebuah perjalanan khusus. Saat itu, saya  mendengar kiprahnya sebagai fasilitator lapangan untuk kesehatan dan pendidikan. Namun, karena hanya sesaat, perlu memastikan komitmennya itu asli.
Tujuh tahun lewat, Agustus 2013 lalu, saya yang sudah menggebu-nggebu, akhirnya bersua lagi. Di sebuah hotel kecil berpenerangan remang pada terasnya, kami bertukar kabar secara langsung. Ia masih sama: kecil dan ramah dengan logat Papwa alias Papua campur Jawa.
Yup, mas Kris (47 tahun) ini orang asli Magelang, Jawa Tengah. Namun, separuh hidupnya ia curahkan di Tanah Papua sebagai staf WVI. Ia bukan misionaris atau pendakwah, tapi ia sudah berpindah dua kali di Papua sebelum akhirnya ditempatkan dan nyangkut di Digoel, kabupaten pemekaran dari Merauke. 
Jejak panggilannya di tanah rantau sebenarnya terlihat sejak ia memutuskan keluar dari pekerjaan idaman buanyak orang: PNS. Ya, ia sebelumnya adalah PNS di sebuah sekolah di Magelang sana. Namun, tahun 1990 ia memutuskan keluar dan memilih bergabung WVI untuk penempatan Papua. "Saya suka tantangan," kata dia. Ediuunn....  
          Salah satu kiprah terkini, mendampingi warga Kampung Ogenetan, Distrik Iniyandit, sekitar 2 jam perjalanan darat dari ibu kota Digoel, Tanah Merah. Bersama bapak kepala distrik (kecamatan), Riswanto mendirikan koperasi yang diberi nama Nonggup, yang berarti kebersamaan. Tak terbayang di kepala saya sebelumnya: warga asli di pedalaman Papua bisa berorganisasi. Sungguh sesuatu yang baru dan menyegarkan.
Keberadaan koperasi itu menjadi solusi ketergantungan warga terhadap tengkulak pembeli karet, sekaligus menyediakan bahan-bahan kebutuhan warga, mulai dari garam hingga baju-celana. Warga pun tak perlu lagi berjalan kaki berjam-jam menuju kampung sebelah untuk membeli kebutuhan harian mereka.
Antusiasme dan semangat Ris tak perlu diragukan. Ia memilih keluar dari WVI per tahun 2014 menyusul habisnya masa kerja layanan WVI di Digoel. Sebenarnya, ia bisa bergeser ke daerah lain. Tapi, tekadnya bulat: bertahan di sana.
 
 Lalu, bagaimana ia memperoleh penghasilan? "Ah, Tuhan pasti sediakan itu buat saya," kata ayah tiga anak yang semuanya tinggal di Magelang bersama istri -yang menemani orang tua Ris. 
Saya sungguh terheran-heran karenanya. Mereka berpisah jauh, ribuan kilometer. Lalu, bagaimana pulang kampungnya? Dulu, ketika masih di WVI, setidaknya setahun dua kali ia pulang kampung sekaligus pertemuan staf WVI di Jawa. Kini? "Ah, bisa saja kapan-kapan."
Benar saja, awal Januari 2014 kami berkontak lagi. Saat itu, Ris bersama beberapa anggota koperasi diundang paparan di Bogor. Ia gunakan kesempatan itu untuk menengok anak, istri, dan orangtuanya.
Lalu, sebenarnya apa alasan bertahan di Ogen?"Saya ingin dampingi warga Ogenetan sampai koperasinya mantab. Saya bisa tinggal di mana saja di sini," kata dia, tersenyum. Saking dekatnya, ia dipanggil paman atau "amo" oleh warga lokal. Ia disambut baik dan diterima terbuka oleh papa-papa dan mama-mama di sana. Suaranya didengar warga lokal yang jauh dari sentuhan birokrasi. Warga yang rindu ketulusan para pendamping program dan pendatang. 
 
 Salah satu teman dari Jakarta yang berkunjung ke Digoel, berkali-kali bertanya tentang "kenapa", "mengapa", "bagaimana", dan "apa" sehingga mau bertahan tanpa kejelasan masa depan nun di tanah orang asing sana. "Ah, nanti Tuhan yang urus. Kalau kita urus diri kita sendiri, Tuhan tak akan urus kita. Tapi, kalau kita urus orang lain, Tuhan akan urus kita dan keluarga," kata dia. Begitu terus setiap kali ditanya. Teman saya pun berulang geleng-geleng kepala. 
"Orang itu gila," kata si bapak, ketika kami mengobrolkan mas Ris. Menurut saya, mungkin gila bagi banyak orang, tapi tidak bagi mereka yang mempercayai penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Dan, mas Ris sudah mengalami itu secara langsung. 
  Di Ogenetan, ia masih punya mimpi mendampingi warga membuat pembibitan karet dan membuat semacam taman rekreasi lokal.   
Mudah-mudahan, seperti bertahun-tahun sebelumnya, ia ditolong mengambil jalan yang benar di setiap persimpangan demi kesejahteraan warga di tingkat lokal. Dan, tak terjebak dalam "goro-goro" perpolitikan lokal yang kini marak.
Ya, Tuhan urus Riswanto. Aminn....
 
Biji karet di kebun karet Ogenetan yang ditanam sejak era kolonial

Pekebun karet sedang mengolah karet menjadi lembaran-lemabaran sebelum dijual ke pabrik. Mereka eksis, salah satunya karena kebradaan koeparasi Nonggup.

Mas Ris (berjaket hitam, tengah) bersama pengurus koperasi, warga Ogenetan, staf WVI, dan rombongan dari Jakarta. Lokasi di muka rumah koperasi dengan latar belakang kebun karet (Agustus 2013).
  

  
 

Rabu, 05 Februari 2014

Bung Karno Di Kampung Wet

Akhir Agustus 2013. 
Berdiri menghadap tegak monumen di TMP Boven Digoel di Kampung Wet terasa berbeda. Bukan karena cerita mistis. Bukan pula sok nasionalis. Apalagi, merasa sebagai generasi penerus bangsa yang sedang berjanji sehidup semati membela negeri (jiaahhh....). Bukannn....

Agustus itu adalah kali kedua saya berdiri di bawah monumen yang sudah kusam itu. Pertama kali, saya ada di sana tahun 2006 dalam sebuah perjalanan tugas. Saat itu, monumen tersebut tak lebih saya pandang sebagai benda mati, hiasan wajib di semua taman makam pahlawan seperti layaknya TMP di seantero negeri. Itu saja. 
Oya, melenceng dikit. Waktu itu, saya yang pergi bersama teman fotografer, Priyombodo (nama sebenarnya hehehehee....), menemui "insiden" kecil di pemakaman itu. Si fotografer menenteng kamera bertele gede, ketika mendatangi anak-anak asli Boven yang sedang bermain. Tak ayal, mereka berhamburan lari menghilang, meloncat pagar. Tak lama, dua atau tiga bapak menuju ke kami sambil membawa parang. Kami sih santai saja, kan nggak ngapa-ngapain juga.
Eee...ternyata si bocah-bocah gundul tadi ngadu ke papa-papa mereka, katanya hendak kami culik! (Busyeett...kurang kerjaan apa. Di Jakarta lebih buanyak kalau mo nyulik-nyulik begitoouuww...) 
Syukur bin big thanks to God, pemandu kami, tokoh pemuda lokal datang tepat waktu. Kayak jagoan-jagoan film laga yang datang saat sohibnya yang tak berdaya kritis menghadapi maut. 
Setelah mereka saling ba-bi-bu pakai bahasa lokal, akhirnya kami terbebas dari tudingan "perbuatan tidak menyenangkan". 

Kembali ke monumen.
Ya, monumen itu bukanlah bangunan biasa. Keberadaannya spesial. Bahkan, bisa disebut sangat spesial. Monumen itu sepotong sejarah integrasi Papua ke Tanah Air Indonesia. Monumen dibangun atas perintah langsung Bung Karno, sang proklamator.
Informasi itu saya peroleh langsung dari perupa senior Edhi Sunarso (80 tahun/2013), ketika bertandang untuk sebuah keperluan lain. Di ruang tamu rumahnya di Yogyakarta tahun 2010 lalu, perupa yang merancang monumen "Selamat Datang" di Bundaran HI, Jakarta, itu, membuka kisah. Sungguh mengagetkan. "Monumen di TMP Digoel itu saya yang bikin." (Jedheerrr...saya seperti tersambar kilat). 
Jadii..jad..jad..jadii...(eng ing enngg...lebay dikit!). Jadi, monumen dengan sosok manusia hitam kurus kering memegang senapan berbahan besi cembung itu buatan beliau. Saya duduk di depan perupa pembuatnya, nun di sana. Lebih kaget lagi, mbah Edhi itu belum pernah melihat langsung hasil karyanya. Singkat cerita, lain waktu, saya singgah ke rumahnya lagi, membawa beberapa lembar foto bergambar monumen tadi. 
Kata mbah Edhi lagi, sosok manusia itu terbangun dari beberapa plat besi (entah tembaga atau kuningan saya lupa) dan dicetak di Jakarta kalau nggak Yogyakarta (maaf tahunnya saya lupa--kalau gak salah 1960-an)). Lalu, diangkut menggunakan pesawat khusus menuju Boven Digoel. Saya sungguh-sungguh takjub jub jub!
Katanya lagi, plat-plat itu diusung berjalan kaki dari bandara Tanah Merah menuju lokasi TMP di Kampung Wet, yang seingat saya berjarak sekitar 4 kilometer (maaf kalau salah). 

Bagi saya atau mungkin anda, atau siapa lagi yang pernah ke Boven Digoel dan singgah ke TMP yang agak pelosok itu, barangkali terheran juga. Buat apa ada monumen dan TMP di Digoel. Apa yang hendak digapai? Kenapa? Mengapa? dll.
Barangkali, benar juga yang disampaikan mbah Edhi. Bung Karno itu berpikir dan bertindak melampaui zamannya. Apa yang dia lakukan, dalam beberapa hal, seringkali tidak cocok jika ditilik pada zamannya. Namun, akhirnya terjawab beberapa masa kemudian. 
Untuk monumen dan TMP itu, barangkali juga, lebih kuat timbangan politisnya. Ada maksud khusus yang hendak didapat dari keberadaannya. Kalau tidak, buat apa jauh-jauh terbang hanya mengangkut plat-plat logam ribuan kilometer pada masa ketika semua serba sulit? Untuk apa pula mengerahkan tenaga mengangkut plat-plat itu berjalan kaki? 
Tapi, apa maksudnya? Yaaa, mungkin ini terkait dengan integrasi tadi. Jiwa zaman yang paling pas barangkali memang itu. 

Usai mendengar langsung kisah dari mbah Edhi di siang hujan deras itu, kembali hati saya berdesir-desir akan Boven Digoel. Mungkin levelnya super duper obsessed. Maka, ajakan berkunjung ke Digoel tengah tahun 2013 itu sungguh sangat sulit saya lepas-relakan untuk orang lain. 
      Dan, Agustus 2013 lalu, berdiri mematung di muka monumen tegak itu sungguh jauh berbeda rasanya dibanding tahun 2006. Bila teman-teman lain seperti tak tertarik dengannya -seperti saya tahun 2006 silam- perasaan saya saat itu bergemuruh dalam sikap mematung.
Saya "melihat" dan "merasakan" Bung Karno di sana -ketika sore mendung-, meski tak lama. 
    
Masih ada banyak kisah lain di Digoel.