Senin, 03 Februari 2014

Ziarah Batin ke Ogenetan

Boven Digoel. 
Nama daerah ini saya kenal ketika saya masih unyu, ketika SD di kota gudeg sono, Yogyes. Daerahnya disebut-sebut sangat terpencil, serba sulit, diintai malaria, di tengah hutan lebat, sungai penuh buaya, dll. Kini, dua kali sudah (2006 dan 2013) saya menginjakkan kaki di sana: kota bersejarah, dimana "bapak koperasi" M Hatta dan "bung kecil" Sjahrir, serta Sayuti Melik pernah diasingkan. Dan, bayangan serba sulit dan mengerikan itu tak benar adanya. Bahwa masih menghias diri sebagai kota, iya!

Kembali pada kunjungan ke-2, sungguh membuat hati berdesir kencang, melebihi desiran lembut saat hendak jumpa bunga hati (sungguhh...). Curcol dikit, saya -yang biasanya tak pernah meminta tugas- kali ini sampai memberanikan diri meminta. "Saya saja yang berangkat (heheheeee...)." Dan, gayung bersambut, bos saya dengan berbaik hati (seperti biasa sih), merelakan kepergian saya dengan berat hati (lebay!). 

Kali ini, saya pergi bersama Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) -saya kenal organisasi ini sejak saya masih menggerogoti bangku kuliah (koyo tikus hihihihii). Saya hormat betul dengan organisasi yang fokus pada pendidikan dan kesehatan anak, remaja, dan ibu-ibu itu. Singkat cerita, tibalah saya di Merauke, kota yang berajarak belasan jam dari Boven Digoel menggunakan mobil bergardan ganda (siap-siap remuk bodi diayun lubang jalanan, apalagi bila musim hujan). Saya siap betul dengan risiko itu, karena ada misi pribadi (huahahaaaa....sstt!) 

Perjalanan kali ini tergolong nyaman, meski harus berbagi bangku dengan teman-teman perjalanan di dalam mobil Ford Everest! (Edan nggak man, mobil mewah di kota besar, di Papua cuma jadi "omprengan" --- makanya, jangan belagu kik kik kik...). Kira-kira, 11 jam perjalanan kami menembus taman nasional Wasur, hutan skunder, dan kebun sawit.

Saya hendak berbagi kisah tentang sebuah kampung di Distrik Iniyandit, yang berjarak 2 jam perjalanan darat (kalau lancar) dari Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel. Namanya, kampung Ogenetan. Kampung ini ada di antara kebun karet sejak zaman Belanda. Kini, dihuni sekitar 300-an jiwa. 

Berpuluh tahun eksis, kampung ini jarang disinggahi pejabat, atau tamu-tamu dari ibu kota negara: Jakarta. Jadi, jangan heran kalau kami disambut dengan tari-tarian khas yang mengharukan, berikut nyanyian mama-mama plus penerjemah penduduk lokal (lihat foto dan video). Di sana, kami sebenarnya melihat sebuah koperasi (Nonggup namanya, yang artinya kebersamaan). 

Whattt? Are you killing me? (kidding kaleee). Jauh-jauh ke pedalaman hanya melihat koperasi? (apaaaaa...??)  Di kantor gue juga ada, malah lebih majouw! Tunggu dulu, kawans. Ini jauh dari bayangan atau isi benak-kepala orang-orang kota. Apalagi Jakarta yang sok kosmopolit, moderen, maju, bla bla bla...

     Ini sebuah ziarah!!

Para mama bertestimoni. Mereka tak perlu lagi berjalan kaki menyisir tepian hutan selama 3-4 jam jalan kaki ke kampung terdekat. Hanya untuk membeli kebutuhan dapur, seperti minyak goreng, beras, garam, dan aneka jenis kebutuhan lain. Semua kebutuhan mereka tercukupkan di koperasi yang menempati bangunan kayu rumah dinas guru yang ditinggal pergi penghuninya itu.

Dulu, mama-mama atau kalau beruntung didampingi suaminya, harus pergi subuh pulang gelap sambil membawa anak bungsu mereka. Ke kampung sebelah itu, mereka membawa kangkung atau daun lokal atau karet mentah untuk dijual, lalu uangnya untuk membelu kebutuhan rumah. Berpuluh tahun seperti itu! 
Bayangkan, kalau itu keluarga kita: ibu, mama, mak, bunda, atau simbok kita yang melakukan ritual itu? Betapa berharganya koperasi itu, tak peduli bentuk bangunan fisiknya seperti apa. Ini soal perkembangan sebuah kampung menuju mandiri. Sinyal hp? please, deh!

Secara langsung dan telak, koperasi memudahkan warga. Kini, waktu yang dulu digunakan mama-mama untuk menempuh perjalanan jauh, bisa dimanfaatkan menemani anak-anak bermain atau belajar. Ada waktu lebih yang berkualitas. 
Koperasi juga menampung hasil dari kebun karet untuk dijual ke perusahaan dengan harga bersaing, Koperasi juga membuat anggota lebih kompak. Mereka memantau harga dan memastikan memiliki daya tawar lebih. Dampak lanjutannya, tengkulak-tengkulak karet yang selama ini mengatur harga semaunya, tak lagi berkeliaran di kampung itu. Pergi, lenyap entah kemana (cadasss....)

Koperasi itu juga menjadi tempat belajar warga dari kampung atau distrik lain. Bahkan, Nonggup juga diundang paparan di Makassar, hingga Bogor dan Jakarta. "Sudah beberapa kali kami ke sana," kata mas Riswanto, salah satu penggerak koperasi. Ayah tiga anak ini dulu staf lapangan WVI, yang kemudian keluar demi keberlanjutan Nonggup, setelah WVI tak lagi berada di Digoel. Mas Ris ini sahabat fisik dan jiwa saya. Kasihnya nyata liar biasa. Anak istrinya tinggal di Magelang, menemani orangtua mas Ris yang sudah sepuh (tua). 

So, pengalaman ini sungguh sangat menggugah. Sangat luarbiasa untuk menggantikan ungkapan saya yang speechless. Sekali lagi, ini ziarah. Ini melebihi khotbah kehidupan di mimbar-mimbar. 
Hormat bagi orang-orang dan lembaga yang dengan tekun dan sabar hati mendampingi warga pedalaman untuk menuju tingkat kehidupan yang lebih baik. Ya, mendampingi! Bukan instruksi, apalagi tipu-tipu.   
Kalau sudah begini, tiada arti penat belasan jam perjalanan. Tiada lagi keluh kesusahan. Semua terbayar: lunas. Bahkan, tersisa untuk jiwa yang kering. Dan, masih banyak cerita yang bisa saya bagikan di esok atau kemudian hari. 

Entah kenapa, saya yakin suatu hari, kan, sampai di sana lagi. Itu pula yang saya yakini tahun 2006, ketika pertama kali singgah di Boven Digoel, yang kini terwujud. Semoga. 
 



Sambutan tari khas dengan perangkat tari yang "apa adanya", tetapi pada saat yang sama menunjukkan bahwa mereka memberikan segala yang mereka punya. Luar biasaaa....



 Gambar di bawah ini berlatar belakang rumah telepon sisa-sisa program Desa Berdering Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ada teleponnya, tapi langsung mati setelah diresmikan tahun 2012 lalu. Berkali-kali diurus hingga kabupaten, tak ada perubahan.  
Karet merupakan komoditi warisan lama yang menjadi andalan warga. Kini, dengan pendampingan, warga memiliki daya tawar dengan pembeli. Tengkulak-tengkulak pun hilang lenyap.  Dengan harga bersaing, warga pun giat menderes karet dan mengolahnya, sebelum dijual ke perwakilan pabrik dengan harga hingga Rp 20.000 per kilogram. Sebelumnya, hanya Rp 5.000 per kg.



 Koperasi Nonggup dari dalam. Sangat sederhana bila dibandingkan koperasi-koperasi di kota lain. Tapi, Nonggup memiliki dampak nyata yang sangat menolong warga Ogenetan. Dari sinilah awal mula masa depan kampung tanpa sinyal telepon itu.

Numpang narsis di halaman koperasi dan tepi hutan karet di Ogenetan. Mudah-mudahan majulah terus saudara-saudaraku nun di ujung sana. Aminnnn.....
 VIDEO PENYAMBUTAN 



Dua bocah generasi Ogenetan.

Tidak ada komentar: