Rabu, 05 Februari 2014

Bung Karno Di Kampung Wet

Akhir Agustus 2013. 
Berdiri menghadap tegak monumen di TMP Boven Digoel di Kampung Wet terasa berbeda. Bukan karena cerita mistis. Bukan pula sok nasionalis. Apalagi, merasa sebagai generasi penerus bangsa yang sedang berjanji sehidup semati membela negeri (jiaahhh....). Bukannn....

Agustus itu adalah kali kedua saya berdiri di bawah monumen yang sudah kusam itu. Pertama kali, saya ada di sana tahun 2006 dalam sebuah perjalanan tugas. Saat itu, monumen tersebut tak lebih saya pandang sebagai benda mati, hiasan wajib di semua taman makam pahlawan seperti layaknya TMP di seantero negeri. Itu saja. 
Oya, melenceng dikit. Waktu itu, saya yang pergi bersama teman fotografer, Priyombodo (nama sebenarnya hehehehee....), menemui "insiden" kecil di pemakaman itu. Si fotografer menenteng kamera bertele gede, ketika mendatangi anak-anak asli Boven yang sedang bermain. Tak ayal, mereka berhamburan lari menghilang, meloncat pagar. Tak lama, dua atau tiga bapak menuju ke kami sambil membawa parang. Kami sih santai saja, kan nggak ngapa-ngapain juga.
Eee...ternyata si bocah-bocah gundul tadi ngadu ke papa-papa mereka, katanya hendak kami culik! (Busyeett...kurang kerjaan apa. Di Jakarta lebih buanyak kalau mo nyulik-nyulik begitoouuww...) 
Syukur bin big thanks to God, pemandu kami, tokoh pemuda lokal datang tepat waktu. Kayak jagoan-jagoan film laga yang datang saat sohibnya yang tak berdaya kritis menghadapi maut. 
Setelah mereka saling ba-bi-bu pakai bahasa lokal, akhirnya kami terbebas dari tudingan "perbuatan tidak menyenangkan". 

Kembali ke monumen.
Ya, monumen itu bukanlah bangunan biasa. Keberadaannya spesial. Bahkan, bisa disebut sangat spesial. Monumen itu sepotong sejarah integrasi Papua ke Tanah Air Indonesia. Monumen dibangun atas perintah langsung Bung Karno, sang proklamator.
Informasi itu saya peroleh langsung dari perupa senior Edhi Sunarso (80 tahun/2013), ketika bertandang untuk sebuah keperluan lain. Di ruang tamu rumahnya di Yogyakarta tahun 2010 lalu, perupa yang merancang monumen "Selamat Datang" di Bundaran HI, Jakarta, itu, membuka kisah. Sungguh mengagetkan. "Monumen di TMP Digoel itu saya yang bikin." (Jedheerrr...saya seperti tersambar kilat). 
Jadii..jad..jad..jadii...(eng ing enngg...lebay dikit!). Jadi, monumen dengan sosok manusia hitam kurus kering memegang senapan berbahan besi cembung itu buatan beliau. Saya duduk di depan perupa pembuatnya, nun di sana. Lebih kaget lagi, mbah Edhi itu belum pernah melihat langsung hasil karyanya. Singkat cerita, lain waktu, saya singgah ke rumahnya lagi, membawa beberapa lembar foto bergambar monumen tadi. 
Kata mbah Edhi lagi, sosok manusia itu terbangun dari beberapa plat besi (entah tembaga atau kuningan saya lupa) dan dicetak di Jakarta kalau nggak Yogyakarta (maaf tahunnya saya lupa--kalau gak salah 1960-an)). Lalu, diangkut menggunakan pesawat khusus menuju Boven Digoel. Saya sungguh-sungguh takjub jub jub!
Katanya lagi, plat-plat itu diusung berjalan kaki dari bandara Tanah Merah menuju lokasi TMP di Kampung Wet, yang seingat saya berjarak sekitar 4 kilometer (maaf kalau salah). 

Bagi saya atau mungkin anda, atau siapa lagi yang pernah ke Boven Digoel dan singgah ke TMP yang agak pelosok itu, barangkali terheran juga. Buat apa ada monumen dan TMP di Digoel. Apa yang hendak digapai? Kenapa? Mengapa? dll.
Barangkali, benar juga yang disampaikan mbah Edhi. Bung Karno itu berpikir dan bertindak melampaui zamannya. Apa yang dia lakukan, dalam beberapa hal, seringkali tidak cocok jika ditilik pada zamannya. Namun, akhirnya terjawab beberapa masa kemudian. 
Untuk monumen dan TMP itu, barangkali juga, lebih kuat timbangan politisnya. Ada maksud khusus yang hendak didapat dari keberadaannya. Kalau tidak, buat apa jauh-jauh terbang hanya mengangkut plat-plat logam ribuan kilometer pada masa ketika semua serba sulit? Untuk apa pula mengerahkan tenaga mengangkut plat-plat itu berjalan kaki? 
Tapi, apa maksudnya? Yaaa, mungkin ini terkait dengan integrasi tadi. Jiwa zaman yang paling pas barangkali memang itu. 

Usai mendengar langsung kisah dari mbah Edhi di siang hujan deras itu, kembali hati saya berdesir-desir akan Boven Digoel. Mungkin levelnya super duper obsessed. Maka, ajakan berkunjung ke Digoel tengah tahun 2013 itu sungguh sangat sulit saya lepas-relakan untuk orang lain. 
      Dan, Agustus 2013 lalu, berdiri mematung di muka monumen tegak itu sungguh jauh berbeda rasanya dibanding tahun 2006. Bila teman-teman lain seperti tak tertarik dengannya -seperti saya tahun 2006 silam- perasaan saya saat itu bergemuruh dalam sikap mematung.
Saya "melihat" dan "merasakan" Bung Karno di sana -ketika sore mendung-, meski tak lama. 
    
Masih ada banyak kisah lain di Digoel.   



   
 

Tidak ada komentar: