Selasa, 20 Mei 2014

Rp 3.000 dan Tanya Tak Terjawab

Hari Selasa, pukul 12.30 WIB.

Singgah di kerumunan pasar klithikan di dekat pintu keluar Stasiun Kebayoran Lama. Baru saja berhenti melangkah di depan sepetak lapak, belum lagi mata berhenti menyapu obyek, tiba-tiba seorang perempuan mengagetkan saya.

"Maaf, om, maaaaff....," kata dia sambil mengulurkan tangan. Wajahnya putih bersih berkacamata minus entah plus. Malah, wajahnya "bau-bau" indo gitu. (emang etnisitas bisa ketahuan dari baunya ya? hehehe...)

"Ya...," kata saya, sambil sedikit terhenyak kaget.

"Boleh minta uang tiga ribu saja," sambung dia to the point. Kulitnya putih bersih dengan rambut ikal yang tidak acak-acakan. Berbaju kaos putih, tertulis "HIGHSCOPE SCHOOL". (Saya tahu nama sekolah itu).

Saya diam sejenak. Lalu, "Hah? Bener mbak nggak punya uang?" lanjut saya lagi sembari memandang tak percaya pada sosoknya yang minta uang tiga tibu rupiah. "Masa nggak punya sih, mbak? Bener nih?" tanya saya lagi sambil agak menyunggingkan senyum. (entah, dia menilai saya meremehkannya atau tidak. Saya hanya bermaksud mengonfirmasi "apa dia bener nggak punya uang??)

"Bener om. Mau saya pakai ngangkot pulang ke Joglo," timpalnya cepat. Jarak lokasi kami dengan kawasan Joglo lebih dari 10 kilometer kira-kira.

Saya masih seperti tak percaya. Sosoknya secara umum, sembari menyangklong tas yang tak juga lusuh menurut saya, tak mencerminkan ia kesusahan. Usianya saya perkirakan 35-an tahun. Saya masih belum merespons.

"Saya juga belum bayar uang sewa rumah, om. Beneerr...," katanya lagi. Lhaaa....apa hubungannya dengan saya mbak. Saya nggak ikut nempatin juga. lho. Tapi, bukan itu poinnya.

Saat itu, di saku baju saya memang sudah saya siapkan uang Rp 3.000 sejak dari rumah! Pecahan dua ribuan dan dua keping lima ratusan. Maksudnya, untuk ongkos metromini 608 sampai kantor saya. Lha kok, ya, ini pas banget, ya. Apa dia tahu isi saku baju saya sehingga meminta pas Rp 3.000. Kalau bener begitu, untung saya nggak taruh uang seratus ribu di saku baju hehehee....(terlalu berimajinasi).

Singkat kisah, saya relakan uang Rp 3.000 di saku saya. Si mbak langsung ngacir, sampai saya lupa dia mengucap terima kasih atau tidak, karena pikiran saya sungguh "ternganga" dengan kejadian itu: si mbak bersih, penampilan bukan orang kesusahan, minta uang di tengah bolong di tengah keramaian Rp 3.000 pas, dan lain-lain. (don't judge a book by it's cover, bukhaaann....)

Tanya saya lagi, kenapa kok saya yang dimintain gitu, lho. Atau, mungkin saya orang kesekian yang ia sasar. Tak masalah buat saya, entah dibohongi atau apa. Saya ikhlas, rela, dan tak menyoal lagi. Hanya sisa tanya yang terus ada.

Usai singgah, saya bergegas ngangkot bus menuju kantor. Menunggu 10 menitan, bus akhirnya melesat. Tak lama, dari belakang bus dengan tujuan sama menyusul sambil menekan klakson panjang. Rupanya, si sopir itu merasa waktunya diambil bus yang saya tumpangi. Sopir bus saya pun tak terima. Lalu, terjadilah kejar mengejar di jalur transjakarta yang sebenarnya bukan jalurnya.

Untuk apa semua itu? Sampai penumpang pada gelisah. Dan, ongkos per penumpangnya Rp 3.000. Nhaaa??? Ini "hanya" demi uang Rp 3.000 lageeee....?! Kok pas lagi, tadi ada mbak-mbak minta uang tiga ribu, sekarang bus kebut-kebutan demi tiga ribuan lagi. Hadeuuhh....

Apapun yang terjadi siang terik itu, saya merenungkannya. Ini ibu kota negara yang statusnya  bersanding dengan ibu kota-ibu kota negara lain. Di tengah kecamuk riuh jakarta yang juga pusat niaga, jasa, dan finansial, "cuplikan" kisah yang saya alami adalah nyata.

Ini kisah tentang uang Rp 3.000 dan tanya-tanya kenapa yang saya tak juga memperoleh jawabnya. Kemana, siapa, dan ada apa sebenarnya dengan si mbak "indo" tadi? Lalu, sampai mana kebut-kebutan bus itu berakhir? Entahlahh.... 

   

   

Tidak ada komentar: