Minggu, 02 Februari 2014

Belajar dari Pujiono


Namanya Pujiono, umurnya 27 tahun.
Ngakunya dari Cilacap, Jawa Tengah. Peserta audisi Indonesian Idol 2014
itu seorang pengamen. Tapi, ia istimewa. Bukan karena penampilannya
secara fisik, tetapi lagu yang ia ciptakan sendiri (setidaknya, itu
pengakuannya). Judulnya "Manisnya Negeriku".
Syair lagunya sederhana, tapi pesannya sungguh kontekstual dan bernas.
Negeri
ini banyak suku dan budaya, serta agama. Ia ingatkan Pancasila dan
Bhinekka Tunggal Ika. Negeri ini juga kaya sumber daya alamnya, sehingga
patutlah dijaga. Ia sebut pula UUD 1945. "Jangan sampai terpecah pihak
lainnya atau bangsa lainnya". Itu syair Pujiono. Lagi-lagi, ia "hanya"
pengamen jalanan.
Faktanya,
apa yang dinyanyikan Pujiono adalah kegetiran. Suku-suku berperang.
Agama jadi kendaraan untuk membunuh sesama. Sumber daya alam dikuasai
asing atau anak bangsa yang keblinger. 
Pujiono bukanlah Iwan Fals atau Doel Sumbang, yang jauh lebih ngetop-tersohor. 
Tapi,
ini bukan soal ngetop atau tersohornya. Kehadirannya memberi wajah
lain, bukan karena secara fisik ia disebut juri tidak menjual dari sisi tayangan tv
yang serba polesan. 
Tapi, "wajah"
Pujiono adalah "wajah" yang seharusnya dimiliki para politisi,
akademisi, birokrat, teknokrat, budayawan, dan petinggi negeri. Negeri
ini butuh kegelisahan berat yang disuarakan Pujiono. 
Nyanyian
Pujiono sederhana, tapi enak didengar. Syairnya juga enak dinyanyikan,
tapi getir bila diperhatikan sungguh-sungguh. Inilah ironi negeri yang
dengan cerdas dan semi jenaka diangkat Pujiono dengan siulan khasnya.
Layaklah kiranya berterimakasih pada dia. 
   

Tidak ada komentar: