Selasa, 15 Juli 2014

Brasil, Antara Cinta, Cibir, dan Kedewasaan

Perhelatan Piala Dunia Brasil 2014 usai 13 Juli 2014 dengan kemenangan tim "Panzer" Jerman setelah menekuk tim Argentina (hwaaa...tim favorit saya). Bagaimanapun, congrats buat para penggila Jerman. Bagaimanapooon, it's just a game, khaannn....

Nhaa, ini menariknya.

Ngomong-ngomong soal game, menarik sungguh melihat nasib tim Brasil, tim tuan rumah yang digadang-gadang bakal menjadi kampiun PilDun kali ini. Namun, apa daya, mereka hancur dicukur hampir botak sama si Jerman tadi, 7-1. Bener-bener edan sak edan-edunnya.

Lebih edian lage, di babak pertama aja udah dibantai 4-0.  Ingat, ini Brasil, bro n sis, bukan PSSI (lhoooo...njur kenapa? maap para PSSI mania, hanya realistis ajah)
Saya yang bukan penggila Brasil, bukan orang Brasil, tak bertaut apapun dengan orang Brasil, belum pernah ke Brasil, dan belum menginjakkan kaki di Amazon saja ikut pilu melihat wajah-wajah suporter tim Tango yang lesu dan nganga tak percaya tim mereka dipermainkan Jerman. Kasihan sungguh.

Tapi, ini bukan soal kasihan mengasihani. Ingat, ini hanya permainan.

Usai hari pembantaian di laga semifinal itu (empat besar kalau belum paham), media-media menyorot tajam dan nyinyir terhadap tim Brasil. Apalagi media-media di Brasil, sono. Ada yang meminta si pelatih, Felipe Scholari mundur, dll.

Namun, waktu terus berjalan.

Pada babak perebutan juara 3-4, Brasil melawan Belanda (ditekuk Argentina dalam adu penalti, 4-2). Dengan semangat juang, seakan hendak menghapus deras air mata dan nganga tak percaya para suporter pada laga sebelumnya, Thiago Silva dkk berjibaku mati-matian. Mereka berlari dan terus berlari, setelah statistik laga sebelumnya ketahuan sebagai tim paling malas berlari (maen bola kok males lari ki kepriben...). Ada bola dikejar, lepas bola langsung dikejar lagi, ga ada bola tetap ngejar (kalau ini hiperaktif kayaknya hahaha...).

Namun, sekali lagi apa daya sodara-sodaraaa. Ternyata oh ternyataa para pemirsaaaa...mereka kalah maning. Kali ini lumayanlah, "hanya" 3-0. Tetap saja kalah dan memalukan. Lagi-lagi air mata mengalir deras. Tak sedikit anak-anak yang menyaksikan pahlawan mereka ditekuk, sesenggukan. Pula para remaja, pemuda, dan dewasa. Nganga lagi tak percaya.

Segera saja, hujan cacian dan sumpah serapah muncul dari para penonton dan pemuja. Bahkan, sejak pertandingan belum usai pun, tak sedikit mereka yang memilih keluar stadion. Lesu selesu-lesunya pokoknya.

Bagi saya yang pernah nonton langsung sepakbola tim kebanggaan di stadion, itulah tabiat para suporter bila ada nada-nada tim akan kalah. Bahkan, tak jarang melempar botol air kemasan atau malah batu ke lapangan. Cacian mah sepeleeee kaleee...itu fakta yang ada di negeri tercinta dengan banyak pencoleng ini.

Kembali ke Brasil lagi. Sungguh terkejut saya, ketika nonton wawancara TV dengan salah satu suporter perempuan Brasil. Dengan wajah terkendali, tak menangis atau kecewa, ia merespons kekalahan itu dengan rasional: "Saya tentu berharap Brasil menang kali ini. Tapi, mereka kalah lagi. Saya tetap menghormati mereka, yang sudah berjuang dan mewakili negara dengan sekuat tenaga dan bermain baik."

Waahhh...hebat bener tuh perempuan. Katanya, perempuan lebih kuat sisi emosionalnya. Lha, ini tidak. Ia tenang, rasional, dan teratur. Karakter beginilah sesungguhnya yang harus dimiliki setiap pendukung apapun.

Ingat, bagaimanapun, sepakbola adalah permainan. It's a game! Bermainlan sebaik mungkin, sisanya biarkan dewa-dewi keberuntungan yang turut bekerja. Jika permainan dimasukkan dalam nalar lebih dari permainan, maka sebenarnya kita tak sedang menikmati bermain atau permainan. Tapi, membunuh kesenangan itu sendiri. Memang mudah ngomongnya, tapi bukan berarti harus membohongi diri, tho? Memang begitu adanya, bukan?

Salut sungguh buat si mbak Brasil tadi. Dari mulutnya, mengalir cinta yang tak berubah jadi cibir. Itulah arti kedewasaan.    

Kalau menang-kalah dalam konteks Pilpres 2014 gimana, ya? Nhaaa...ini yang masih ngeri.
  



 
    
 

Selasa, 01 Juli 2014

Inspirasi dalam Dua Menit

Minggu (15/6) pagi waktu Indonesia. 
Piala Dunia Brasil 2014 menampilkan duel Jepang-Pantai Gading (berharga banget nih pantai). 
Jepang mendominasi permainan dengan keunggulan 1-0 pada menit ke-16. Pertandingan seperti tak berimbang. Pantai Gading dikurung. Jepang sepertinya hendak pesta pagi itu. 
Hingga, ya, hingga menit ke-62, sang pelatih Pantai Gading menurunkan Didier Drogba, pemain kawakan eks bintang Chelsea yang tangguh hingga dijuluki "Drogbazooka". 
Lalu, apa yang terjadi lapangan sodara-sodaraaa...
Ya, benar: GOLLLLL....
Sejak detik pertama Droga masuk, sungguh ajaib, permainan seperti berubah total. Energi pemain Pantai Gading seperti dipompa dua kali lipat lebih. Sebaliknya, para pemain tim samurai biru seperti salah tingkah. Sungguh aneh binti ajaibah. 
Bagaimana nggak aneh. Dua menit sejak Drogba merumput, timnya menyamakan kedudukan, 1-1. Selesai? Belum, sodara-sodaraa.
Dua menit setelah itu, lagi-lagi Pantai Gading ngegolin. Edan. Pantai Gading berbalik unggul, 2-1. 
Bagi saya yang menonton langsung pertandingan itu, sungguh luar biasa efek Drogba (bukan efek Jokowi yee...kekekeee) 
Bayangkan, empat menit sejak si Drogba masuk, keadaan berbalik total hingga akhirnya pesta Jepang yang seolah-olah akan mereka lakoni pascapertandingan itu, sirna. Samurai biru dibekuk tim Gading. 
Pelatih Jepang tak habis pikir dengan perubahan ekstrem itu. Seolah-olah, satu tim Jepang berhadapan dengan Drogba seorang. 
"Dia seorang juara," sebut pelatih Pantai Gading, merujuk Drogba. 
Drogba sendiri merendah, bahwa justru yunior-yuniornya di tim itulah yang pantas diapresiasi sungguh. Well...hebat si Drogba. Dalam konteks ini, ia rendah hati sekaleee....
Apapun komentar si A dan si B, hingga si Z, buat saya inilah arti nyata I.N.S.P.I.R.A.S.I. 
Ya, bukan karena kata, bukan karena hal lain, tapi cukup dengan hadir saja, mampu mengubah sesuatu menjadi menakjubkan, dan sangat positif hingga mencapai tujuan. 
Seringkali, saya mencari apa sesungguhnya inspirasi itu. Minggu dinihari itu, Drogba menjadi anekdot, apa dan bagaimana sesungguhnya inspirasi bekerja dan apa itu inspirator. 
Saa itu, Drogba tak menghasilkan gol. Tapi, bermain bagus.  
Yah, itulah inspirasi. 
Inspirator tak harus menonjol. Tak harus berteriak-teriak. Ia bisa saja kalem, tenang, dan menjalankan perannya sebaik mungkin. 
Sebab, kehadirannya lebih dari itu.
Terima kasih, mas bro Drogba.   




Jakarta Sepanjang Palmerah-Benhil

Jumat (20/6), sekitar pukul 13.00. Terik surya lagi murah-murahnya. 
Bersepeda motor mengejar janji yang kudu cepat. Eeehh...malah motor setia saya jebrat jebret tanda-tanda "masuk angin". Hwaaa...bener juga, mesin matek di jalan.
Sontak menolak mengeluh, energi paling ramah di bumi, alias jurus kaki mengayuh dipraktikan menuju SPBU terdekat di kawasan Bendungan Hilir. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari titik si bejo (nama motor tahun 2001 saya) ngadat.
Lumayan berat juga, namanya juga motor cowok bertangki agak gedean. Tapi, pantar mundung. 
Sekitar 100 meter mengayuh kaki di atas bodi motor ngadat, pengendara motor bebek mendorong footstep motor belakang saya. 
"Äyo, bang, saya dorong. Kenapa?" kata dan tanya si pengendara. Saya pun menoleh karena kaget (campur senang tentunya hehehee...). Ohh, mereka ternyata dua pemuda tukang AC, yang kelihatan dari bawaannya: tabung freon ijo, kotak plastik isi kabel, tapi tanpa tangga.
    "Iya, neh, motor keabisan bensin," sahut saya antusias sembari ngos-ngosan dikit (hadeuuhhh betis cenut-cenut, napas tersengal-sengal, bodi kayak mandi sauna)
Sekitar 500 meter saya menikmati dorongan hingga masuk pintu SPBU. 
"Makasihh banget, banggg...." kata saya girang sambil melambaikan tangan kanan (kalau dua-duanya ambruk dong saya). Ayem rasanya, karena janji molor dikit tetap akan kekejar. 
Blaik, ternyata antre sekitar 10 motor. Tapi, yang penting segera "greng" lagi, nih, bejo. 
Apa daya, ternyata setelah membuka tangki, bensin masih ada separoh. Lhhaaahhh???
Dorong sana, dorong sini, masukin gigi sambil lari, bejo tetap membisu. Mengeram bentar, lalu brenti total. Akhirnya, terima nasib mencari bengkel yang entah dimana dan seberapa jauh.
Pasrah.
Bengkel jadi tujuan berikutnya. Yang ternyata butuh mengayuh lagi. Kali ini lebih jaouhhhh...
Singkat kata: bengkel tertuju, bejo ditangani, motor sehat lagi. 30 menit!
Dan, janji akhirnya tak terkejar. Tak ada pilihan, janji dibatalkan hingga 10 hari ke depan. 
Tak mengapa buat saya. Bukankah rencana seringkali terinterupsi hal-hal di luar rencana?
Hari itu, di tengah terik surya, Jakarta memberi penegasan lagi: bahwa ibu kota juga punya wajah ramah, yang selama ini mungkin hanya terpikir terjadi di mBantul, Solo, Sragen, Imogiri, atau kawasan udik lain sono. 
***
Sebenarnya, ini pengalaman kedua saya dengan kejadian yang mirip banget. Yang pertama dulu, kehabisan bensin beneran, lalu didorong pengendara motor dari belakang di kawasan Palmerah Barat. 
Waktu itu, meski saya terharu, saya tak terlalu heran. Si abang itu ternyata satu daerah dengan saya. Dia bilang, "Jogjane pundi, mas (yogyanya mana)?" Harap maklum, motor masih ber-plat "AB".
Tapi, kejadian kedua Palmerah-Benhil tadi itu, dilihat dari logatnya, rasanya Sunda teaaa....(baca: teaakk, bukan teh).
Saluuuttt...haturnuhun, kang. 
***
Di lain hari, menumpang metromini merah Palmerah-Kebayoran Lama pada sepotong siang. Waktu naik, penumpang hanya lima orang, termasuk saya. Bergerak 10 meter, si sopir memberi kode pada sang kernet: "kui mbokde kon melu sisan" (itu ibu-ibu tua ditawarin naik sekalian). 
Saat itu, seorang nenek yang kecil tapi tampak kuat menggendong bakulan anyaman bambu berjalan pelan di tepi jalan raya. 
"Ayoo melu mbokde," teriak di kernet.
"Ooo...kowe, tho," sahut si nenek sambil tertawa (tapi ga pake nginang segala, yaa).
Singkat kisah, bergerak sekitar 1 kilometer, si nenek harus turun. 
"Ïki duite (ini uangnya)," kata si nenek sembari menyodorkan uang Rp 2.000. 
"Halahh...pun mboten usah (sudahlah, tidak usah)," kata si sopir. 
"Wooo...yo, nuwun, yooo," respons si nenek lagi.
 Pyaaarrrr....
Senang rasanya, malah rasanya kok girang mendengar adegan singkat berbahasa jawa itu. Bukan karena basa jawanya, tapi kesannya.
Sepuluh tahun merayapi aspa, makadam, dan tanah Jakarta saat panas dan ujan, baru kali itu saya tahu ada "transaksi" sosial yang sebenarnya urusannya bisnis itu, saya dengar langsung.
Plonnggg....
Jakarta, bersama dua kisah mengayuh motor tadi, sebenarnya ada ruang saling berbagi dengan tulus. Saling menolong tanpa mengenal satu sama lain;
Memedulikan di tengah keangkuh-riuhan Jakarta; 
Dan, itu sangat indah dan unforgetable. 
Lebih dari itu, sangat inspiratif. 
Kalau saja banyak kisah dan kejadian seperti ini, mungkin Jakarta bukan lagi ibu kota yang sering diasosiasikan dengan ibu tiri yang jahat dan bengis. 
Mungkin memang ada bagian itu, tetapi mudah-mudahan terus tergerus dan menghilang. 
Poros Palmerah-Bendungan Hilir adalah jalur pengecualian kali itu: sungguh inspiratif, memorable, dan layak diserukan doa kejadian hal-hal yang sama dan berkembang.