Minggu, 02 Februari 2014

Presiden Rakyat atau Presiden Duit

Namanya Said. Titelnya haji. Usianya hampir 70 tahun dengan pendidikan yang tak terlalu jelas di Madura sana.
Yang jelas, ia juragan mebel seken sekaligus reparator yang menempati lahan sewa di kawasan Ciputat, Jaksel. 
Suatu sore gerimis, tiba-tiba ia yang berbaju koko plus sarung (abis mandi kayaknya hehehe...)  mengajak saya yang sedang singgah, berdiskusi. Berat, soal presiden! 
Berpuluh kali singgah, baru kali ini saya dengar nyebut-nyebut presiden segala.
Boleh juga nih, pikir saya. Biasanya, dia mah ngobrolin kayu-harga-jual-beli doang.
"Kita ini diberi yang baik, milihnya yang jelek," buka pria berjenggot tanggung itu.
"Weittss....apa maksudnya, pak Haji?" sahut saya. Saya siap-siap telinga aja.
"Lha, iya, tho. Dulu ada Gus Dur, diberhentikan. Katanya enggak bener. Sekarang sudah mati (beneran, dia bilang begitu), kuburannya enggak pernah sepi. Itu artinya dia dicintai rakyatnya," kata dia lagi. "Gus Dur itu, kan, keturunan Wali." (saya ngangguk aja, secara dia orang Madura. Yang begituan ada dalam darah dagingnya, tho)
"Oooo...begitu, ya," kataku lagi. "Terus?"
"Lha, yang sekarang ini, semua diambilin. Keluarganya ikut maling (saya nggak nambahin dan nggak sensor. Aslinya bilang begitu, yang ia simpulkan dari simpang siur pemberitaan). Apalagi namanya kalau bukan presiden duit," katanya lagi. (waduh, gaswat nih orang ngomongnya)
Semua, kata dia lagi, ikut-ikutan maling. Korupsi dimana-mana. Yang korupsi gede-gedean didiemin aja kabur ke luar negeri. Yang kecil, puluhan atau seratus juta, dikejar-kejar. Bahkan, ambil ayam saja diadili serius. "Pedagang kecil di kereta sekarang juga nggak boleh, kan?" kata dia lagi. (lha, kok sampe pedagang asongan segala nih diskusi?? tapi, biarlah)
"Tapi, pak Haji, biarpun sejuta, kalau mencuri, ya mencuri, kan?" umpanku.
Langsung disambar, "Benar, memang. Tapi, yang gede jangan didiamkan saja. Bagus itu, ada yang dari cina ditangkap dibawa ke sini untuk diperiksa (Anggoro Widjojo, maksudnya)," kata dia lagi. 
   
Ia, lalu menyorot aksi-aksi Jokowi, yang ia tahu dari tv, mau terjun ngunjungi orang banjir. Bahkan, sebelumnya masuk got-got atau saluran air di Jakarta. "Gajinya di Solo juga nggak diambil katanya," kata dia. (Iya, kali pak Haji). "Dia juga mau nerima orang-orang biasa. Mau makan di warteg sama bu Mega. Itu yang disukai rakyat." (update dari tv nih pasti).
"Kita ini butuh presiden rakyat, bukan presiden duit," tambah dia. 
"Pilih yang bagus, ya, jangan yang jelek," kata saya. "Bener, itu. Benerr...saya juga pikir begitu," kata pak Haji. (Kan, situ, yang bilang di awal tadi, pak Hajiii...) 
"Lalu, wakilnya siapa kira-kira yang cocok?" tanya saya.
 "Apaa?" kata dia. (waduh, memang repot kalau diskusi sama lansia bgene hehehee....). 
"Wakilnya, pak Hajeee...?"
"Oooo...kalau itu, katanya masih diserahkan bu Mega," sahut dia. (kata siapa, yakk?? bingung saya)
  
Sebelum saya tambah linglung, datanglah teman pak haji, yang juga bersarung dan berbaju koko. Dan, mereka bersahutan dengan bahasa Madura yang tak saya mengerti sama sekali.
"Pak Haji, saya pulang dulu, ya. Mau ke Pak Udin," pamit saya. Seperti biasa, saya pun salaman.
(Pak Udin itu sesama pedagang benda-benda ajaib gitu, tapi berasal dari Pekalongan. Kiosnya dua rumah di sebelah Haji Said). 
Melangkahlah kaki ke kios Udin di tengah gerimis kecil. Berharap menyambung obrolan lain, yang sebelumnya sudah kami lakukan sebelum saya singgah ke pak Haji. 
Masuk ke kios Udin yang sesak dan berantakan oleh tumpukan mebel dan ceceran mur-baut-paku, dll, yang hidup hanya suara dendang radio dan siaran berita sore di televisi. Sungguh mirip adu balap motor bisingnya. 
Dan, si Udinnya molor lor lor di bangku kayu. Dua jari tangannya mengapit sebatang rokok yang masih menyala setengah. "Kamprett...," pikir saya. (bukan nyumpahin, tapi kata lain dari sial untuk saya sendiri).
"Mas...mas...tak mulih sik, yo," kata saya, setelah ia memicingkan mata. "Oooo...yo. Suwun yoo...," trus merem lagi. (suwun apanya? orang saya cuma mampir)
Hahahaaaa...saya suka "drama" sore itu: tak dibuat-buat, tak berjarak.
Apapun itu...
Ini nyata di Indonesia. Bahwa, tak peduli tua-muda, berpendidikan atau tidak, laki-perempuan, suku anda dari mana, tayangan televisi sungguh sudah merasuk dalam ke alam pikir penonton. 
Yang namanya tayangan atau berita (tv, cetak, daring, dll), hendaknya disiapkan sungguh-sungguh. Sejelas mungkin, agar diterima utuh dan tak disalah-mengerti jutaan pasang mata dengan beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaannya.
    
      

  

Tidak ada komentar: