Jelang tengah malam, Kamis (7/2), sorangan wae meniti jalan pulang usai “mencangkul”, tersedot ingatan pada sosok mbak Meylan. Dari namanya, bisa ditebak dong. Ya, dia orang Batak
hehehee...becanda. Dia keturunan Tionghoa.
Mbak Mey, mahasiswi Sastra Inggris di sebuah kampus di
Semarang, itu, salah satu kakak senior saya, tapi beda jurusan. Kami dekat,
karena aktif dalam kelompok persekutuan mahasiswa, gitu. Biasanya, usai
nyanyi-nyanyi dan dengerin khotbah setiap Jumat, kami berkumpul di panggung di
halaman kampus.
Terkadang, kami bertukar pikiran yang sok sok serius (tapi, seringan dia yang nukerin, sayanya diem aja: manggut-manggut hahahaa..) Serius itu, dalam arti merefleksi hidup sosial kami, nggak melulu yang rohani (tapi ini perlu juga dan kami lakukan).
Terkadang, kami bertukar pikiran yang sok sok serius (tapi, seringan dia yang nukerin, sayanya diem aja: manggut-manggut hahahaa..) Serius itu, dalam arti merefleksi hidup sosial kami, nggak melulu yang rohani (tapi ini perlu juga dan kami lakukan).
Saya suka takjub dengan mbak Mey ini, sungguh!
Begini. Bukan bermaksud SARA, lho ya. Tapi, realita sosial dan kultural tengah tahun 1990-an itu, di dalam kampus negeri, yang namanya mahasiswa keturunan Tionghoa sangat amat langka sekali banget. Mendekati punah malah (Critically Endangered –kalau dalam perspektif ilmu biologi).
Begini. Bukan bermaksud SARA, lho ya. Tapi, realita sosial dan kultural tengah tahun 1990-an itu, di dalam kampus negeri, yang namanya mahasiswa keturunan Tionghoa sangat amat langka sekali banget. Mendekati punah malah (Critically Endangered –kalau dalam perspektif ilmu biologi).
Lebih takjub lagi, mbak Mey ini aktif di dunia pers kampus
fakultas sastra, yang saat itu menjadi “sarangnya” dedengkot-dedengkot aktivis PRD,
SMID, dan ideolog-ideolog yang dikategorikan beraliran kiri. Kawan-kawan
semacam itu, di tempat kami, kuliah hanyalah “pekerjaan” sampingan. Yang utama,
kalau nggak diskusi-berteater-bikin majalah-nongkrong, ya hahahihi di kampus
dengan tampilan khas: acak-acakan dan semi kumel hehehe (tapi nggak semua sih).
Tapi, kalau tiba waktunya urusan demo, antusiasnya bukan maen...ngalah-ngalahin anak-anak zaman sekarang yang desek-desekan antre tiket nonton konser JKT48, Coboy Junior, atau One Direction. Urusan kuliah? Bisa diwakilkan. Begitulah kira-kira.
Tapi, kalau tiba waktunya urusan demo, antusiasnya bukan maen...ngalah-ngalahin anak-anak zaman sekarang yang desek-desekan antre tiket nonton konser JKT48, Coboy Junior, atau One Direction. Urusan kuliah? Bisa diwakilkan. Begitulah kira-kira.
Nah, dalam habitat seperti itu mbak Mey ini menjadi anomali.
Dia aktif. Tapi, lebih ke diskusi dan urusan konten majalahnya. Bahkan, ia
–yang sangat pemalu itu- pernah menjadi koordinator/acara besar yang dihelat
majalah HW, milik kampus kami. Dan, kuliahnya beres res res....
Sungguh tak biasa. Saya salut sampai koprol-koprol kalau boleh. Saya sempat tanya, kenapa kok bisa ngejalanin itu semua? Saya lupa persis jawabannya. Tapi, kira-kira, ia mengatakan, bahwa semua tergantung kita yang ngejalanin. Yang terpenting, miliki tujuan dan bekal yang jelas atas kegiatan itu. Jangan sekedar ikut-ikutan, apalagi sok-sok an! Bukankah ikan laut tak lantas menjadi asin di lautan garam? Bagi saya, kakak ini hidup nyerempet-nyerempet bahaya alias vivere pericoloso –sok meminjam Bung Karno.
Sungguh tak biasa. Saya salut sampai koprol-koprol kalau boleh. Saya sempat tanya, kenapa kok bisa ngejalanin itu semua? Saya lupa persis jawabannya. Tapi, kira-kira, ia mengatakan, bahwa semua tergantung kita yang ngejalanin. Yang terpenting, miliki tujuan dan bekal yang jelas atas kegiatan itu. Jangan sekedar ikut-ikutan, apalagi sok-sok an! Bukankah ikan laut tak lantas menjadi asin di lautan garam? Bagi saya, kakak ini hidup nyerempet-nyerempet bahaya alias vivere pericoloso –sok meminjam Bung Karno.
Bagaimana ga bahaya. Kalau ga kuat, bisa terseret arus deras
yang berujung pada ketidakjelasan masa depan. Terjebak dalam aktivitas semata,
tanpa tujuan akhir yang terukur.
Dari mbak Mey juga saya tangkap tips membaca buku. Ada
banyak buku, mulai filsafat hingga ideologi-ideologi yang butuh disaring saat
membacanya. Persoalannya, kadang diterima mentah-mentah oleh siapa saja yang
sedang mencari jati diri, seperti halnya bahaya memahami tafsir ajaran-ajaran
keagamaan. “Kalau membaca, kuasai dirimu. Bukan buku yang menguasai dirimu
seluruhnya,” kata dia. (mbak Mey, ingatkah dikau?)
Oya, bukan hal-hal serius saja yang kami obrolkan. Terkadang
konyol juga. Pernah suatu siang usai nyanyi-nyanyi Jumat, dia berbisik:
“Eh, Sit, tahu nggak.
Tadi aku keliru masukin persembahan. Tak kiro lima ratus, ternyata lima ribu,”
kata dia sambil nyengir kuda, mencuat gigi kelincinya.
“Hah? Apa mau diambil lagi, mbak? Gak apa-apa dituker,” kata
saya spontan. Itu mungkin banget. Soalnya, kami-kami juga yang mengelolanya.
“Ngawur. Ya, biarin aja. Kebacut,” kata dia. Lalu, kami
tertawa. Hahahahaaa....(lima ribu rupiah pada masa itu (tengah tahun 1990-an)
tergolong besar untuk ukuran mahasiswa di daerah). Bisa buat makan beberapa kali.
Oya, si kakak ini tinggal bersama om-nya yang pengusaha. Istilah Jakartanya:
tajir, bro and sist!
Di lain waktu, kakak yang tak pernah absen mengenakan bawahan rok, mengendara motor Honda Grand-nya (sering ngebut malah) itu- bercerita soal hati (ini bukan rahasia, kok, wkwkwwkkaa). Mbak Mey ini –sudah
Tionghoa, nasrani pula- didekati salah satu pria sesama pengelola majalah
kampus. Sebut saja Tupai hahahaa.... Persoalannya, ini cowok, sudah muslim, jawa pula (rasanya malah luar
jawa). Selain itu, mbak Mey pernah bilang kalau ia mempertimbangkan hidup
selibat (tak menikah).
“Lha, kok ngeyel ndeketin mbak Mey?” tanya saya.
“Lha, kok ngeyel ndeketin mbak Mey?” tanya saya.
“Tahu nggak, dia bilang, katanya ia masih melihat harapan,”
kata mbak Mey.
Dasar tuh cowok anak sastra Indonesia, hidup dengan diksi-diksi puisi hehehee....
Dasar tuh cowok anak sastra Indonesia, hidup dengan diksi-diksi puisi hehehee....
Dus, saya kaget.
“Lha, bener gitu, mbak? Ada harapan?” tanyaku lagi.
Kali ini, saya lupa mimik wajah si kakak. Seingatku, si kakak yang ajaib itu diem aja. (mbak Mey, jadinya sekarang gimanaaa??? –saya tak berkontak lagi sejak dia lulus tahun 1998-1999 dan denger-denger lanjut belajar Sosiologi Pedesaan di UGM)
“Lha, bener gitu, mbak? Ada harapan?” tanyaku lagi.
Kali ini, saya lupa mimik wajah si kakak. Seingatku, si kakak yang ajaib itu diem aja. (mbak Mey, jadinya sekarang gimanaaa??? –saya tak berkontak lagi sejak dia lulus tahun 1998-1999 dan denger-denger lanjut belajar Sosiologi Pedesaan di UGM)
Harapan, ya, harapan. Kata itu menancap di kepala saya
hingga kini hampir 20 tahun! Bahkan, untuk sesuatu yang hampir pasti enggak
saja, masih terus dikejar. Sekalipun harapan itu barangkali sangat
subyektif, searah saja; bukan melibatkan dua pihak. Tapi, ini soal isi hati,
bung. Asmara! Lemas sayaa....
Nah, menyambung soal harapan yang sepihak dan asmara tadi,
ada kisah beda lagi. Ini bukan tentang mbak Mey, tapi kawan lain lagi (yang ini
kudu secret).
Si pejantan ini memilih menunggu seseorang –bunga hatinya-
yang milik orang lain. Ia sirami hatinya setiap waktu dengan harapan. Ia pompa juga
jantungnya dengan rapalan-rapalan harapan yang sama, bahwa suatu waktu akan
tiba harinya ia memiliki buah hati itu dalam arti sebenar-benarnya.
Sesungguhnya. Mesti, ia hanya bisa menunggu takdir (itupun kalau memang ada).
Wah, saya linglung. Bisa, ya, begitu? Akhirnya tersadar
juga, bahwa tak ada yang tak mungkin soal itu. Misteri akan selalu menarik dan
menjadi semacam adrenalin hingga ia menjelma menjadi sebuah kebenaran. Saya
mengangguk-angguk saja. Bahkan, saya hormat dengan ketekunannya meniti-sirami
harapan, meski mungkin subyektif. Kata saya, nyerempet-nyerempet bahaya juga
itu rasa. Vivere pericoloso.
Dan,
Malam berganti pagi,
Malam berganti pagi,
Yang ada hanya gelap,
Deru menjadi sunyi,
Deru menjadi sunyi,
Ada tanya enggan lenyap: tak terjawa(p)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar