Jumat, 07 Februari 2014

Tuhan Urus Riswanto

Riswanto 

Ini dia sahabat jiwa dan jarak jauh saya. Bertemu pertama tahun 2006 di Boven Digoel, ketika singgah sesaat di kantor Wahana Visi Indonesia untuk sebuah perjalanan khusus. Saat itu, saya  mendengar kiprahnya sebagai fasilitator lapangan untuk kesehatan dan pendidikan. Namun, karena hanya sesaat, perlu memastikan komitmennya itu asli.
Tujuh tahun lewat, Agustus 2013 lalu, saya yang sudah menggebu-nggebu, akhirnya bersua lagi. Di sebuah hotel kecil berpenerangan remang pada terasnya, kami bertukar kabar secara langsung. Ia masih sama: kecil dan ramah dengan logat Papwa alias Papua campur Jawa.
Yup, mas Kris (47 tahun) ini orang asli Magelang, Jawa Tengah. Namun, separuh hidupnya ia curahkan di Tanah Papua sebagai staf WVI. Ia bukan misionaris atau pendakwah, tapi ia sudah berpindah dua kali di Papua sebelum akhirnya ditempatkan dan nyangkut di Digoel, kabupaten pemekaran dari Merauke. 
Jejak panggilannya di tanah rantau sebenarnya terlihat sejak ia memutuskan keluar dari pekerjaan idaman buanyak orang: PNS. Ya, ia sebelumnya adalah PNS di sebuah sekolah di Magelang sana. Namun, tahun 1990 ia memutuskan keluar dan memilih bergabung WVI untuk penempatan Papua. "Saya suka tantangan," kata dia. Ediuunn....  
          Salah satu kiprah terkini, mendampingi warga Kampung Ogenetan, Distrik Iniyandit, sekitar 2 jam perjalanan darat dari ibu kota Digoel, Tanah Merah. Bersama bapak kepala distrik (kecamatan), Riswanto mendirikan koperasi yang diberi nama Nonggup, yang berarti kebersamaan. Tak terbayang di kepala saya sebelumnya: warga asli di pedalaman Papua bisa berorganisasi. Sungguh sesuatu yang baru dan menyegarkan.
Keberadaan koperasi itu menjadi solusi ketergantungan warga terhadap tengkulak pembeli karet, sekaligus menyediakan bahan-bahan kebutuhan warga, mulai dari garam hingga baju-celana. Warga pun tak perlu lagi berjalan kaki berjam-jam menuju kampung sebelah untuk membeli kebutuhan harian mereka.
Antusiasme dan semangat Ris tak perlu diragukan. Ia memilih keluar dari WVI per tahun 2014 menyusul habisnya masa kerja layanan WVI di Digoel. Sebenarnya, ia bisa bergeser ke daerah lain. Tapi, tekadnya bulat: bertahan di sana.
 
 Lalu, bagaimana ia memperoleh penghasilan? "Ah, Tuhan pasti sediakan itu buat saya," kata ayah tiga anak yang semuanya tinggal di Magelang bersama istri -yang menemani orang tua Ris. 
Saya sungguh terheran-heran karenanya. Mereka berpisah jauh, ribuan kilometer. Lalu, bagaimana pulang kampungnya? Dulu, ketika masih di WVI, setidaknya setahun dua kali ia pulang kampung sekaligus pertemuan staf WVI di Jawa. Kini? "Ah, bisa saja kapan-kapan."
Benar saja, awal Januari 2014 kami berkontak lagi. Saat itu, Ris bersama beberapa anggota koperasi diundang paparan di Bogor. Ia gunakan kesempatan itu untuk menengok anak, istri, dan orangtuanya.
Lalu, sebenarnya apa alasan bertahan di Ogen?"Saya ingin dampingi warga Ogenetan sampai koperasinya mantab. Saya bisa tinggal di mana saja di sini," kata dia, tersenyum. Saking dekatnya, ia dipanggil paman atau "amo" oleh warga lokal. Ia disambut baik dan diterima terbuka oleh papa-papa dan mama-mama di sana. Suaranya didengar warga lokal yang jauh dari sentuhan birokrasi. Warga yang rindu ketulusan para pendamping program dan pendatang. 
 
 Salah satu teman dari Jakarta yang berkunjung ke Digoel, berkali-kali bertanya tentang "kenapa", "mengapa", "bagaimana", dan "apa" sehingga mau bertahan tanpa kejelasan masa depan nun di tanah orang asing sana. "Ah, nanti Tuhan yang urus. Kalau kita urus diri kita sendiri, Tuhan tak akan urus kita. Tapi, kalau kita urus orang lain, Tuhan akan urus kita dan keluarga," kata dia. Begitu terus setiap kali ditanya. Teman saya pun berulang geleng-geleng kepala. 
"Orang itu gila," kata si bapak, ketika kami mengobrolkan mas Ris. Menurut saya, mungkin gila bagi banyak orang, tapi tidak bagi mereka yang mempercayai penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Dan, mas Ris sudah mengalami itu secara langsung. 
  Di Ogenetan, ia masih punya mimpi mendampingi warga membuat pembibitan karet dan membuat semacam taman rekreasi lokal.   
Mudah-mudahan, seperti bertahun-tahun sebelumnya, ia ditolong mengambil jalan yang benar di setiap persimpangan demi kesejahteraan warga di tingkat lokal. Dan, tak terjebak dalam "goro-goro" perpolitikan lokal yang kini marak.
Ya, Tuhan urus Riswanto. Aminn....
 
Biji karet di kebun karet Ogenetan yang ditanam sejak era kolonial

Pekebun karet sedang mengolah karet menjadi lembaran-lemabaran sebelum dijual ke pabrik. Mereka eksis, salah satunya karena kebradaan koeparasi Nonggup.

Mas Ris (berjaket hitam, tengah) bersama pengurus koperasi, warga Ogenetan, staf WVI, dan rombongan dari Jakarta. Lokasi di muka rumah koperasi dengan latar belakang kebun karet (Agustus 2013).
  

  
 

Tidak ada komentar: