Senin, 10 Februari 2014

“Vivere Pericoloso”

Jelang tengah malam, Kamis (7/2), sorangan wae meniti jalan pulang usai “mencangkul”, tersedot ingatan pada sosok mbak Meylan. Dari namanya, bisa ditebak dong. Ya, dia orang Batak hehehee...becanda. Dia keturunan Tionghoa.
Mbak Mey, mahasiswi Sastra Inggris di sebuah kampus di Semarang, itu, salah satu kakak senior saya, tapi beda jurusan. Kami dekat, karena aktif dalam kelompok persekutuan mahasiswa, gitu. Biasanya, usai nyanyi-nyanyi dan dengerin khotbah setiap Jumat, kami berkumpul di panggung di halaman kampus.
Terkadang, kami bertukar pikiran yang sok sok serius (tapi, seringan dia yang nukerin, sayanya diem aja: manggut-manggut hahahaa..) Serius itu, dalam arti merefleksi hidup sosial kami, nggak melulu yang rohani (tapi ini perlu juga dan kami lakukan).
Saya suka takjub dengan mbak Mey ini, sungguh!
Begini. Bukan bermaksud SARA, lho ya. Tapi, realita sosial dan kultural tengah tahun 1990-an itu, di dalam kampus negeri, yang namanya mahasiswa keturunan Tionghoa sangat amat langka sekali banget. Mendekati punah malah (Critically Endangered –kalau dalam perspektif ilmu biologi).
Lebih takjub lagi, mbak Mey ini aktif di dunia pers kampus fakultas sastra, yang saat itu menjadi “sarangnya” dedengkot-dedengkot aktivis PRD, SMID, dan ideolog-ideolog yang dikategorikan beraliran kiri. Kawan-kawan semacam itu, di tempat kami, kuliah hanyalah “pekerjaan” sampingan. Yang utama, kalau nggak diskusi-berteater-bikin majalah-nongkrong, ya hahahihi di kampus dengan tampilan khas: acak-acakan dan semi kumel hehehe (tapi nggak semua sih).
Tapi, kalau tiba waktunya urusan demo, antusiasnya bukan maen...ngalah-ngalahin anak-anak zaman sekarang yang desek-desekan antre tiket nonton konser JKT48, Coboy Junior, atau One Direction. Urusan kuliah? Bisa diwakilkan. Begitulah kira-kira.
Nah, dalam habitat seperti itu mbak Mey ini menjadi anomali. Dia aktif. Tapi, lebih ke diskusi dan urusan konten majalahnya. Bahkan, ia –yang sangat pemalu itu- pernah menjadi koordinator/acara besar yang dihelat majalah HW, milik kampus kami. Dan, kuliahnya beres res res....
Sungguh tak biasa. Saya salut sampai koprol-koprol kalau boleh. Saya sempat tanya, kenapa kok bisa ngejalanin itu semua? Saya lupa persis jawabannya. Tapi, kira-kira, ia mengatakan, bahwa semua tergantung kita yang ngejalanin. Yang terpenting, miliki tujuan dan bekal yang jelas atas kegiatan itu. Jangan sekedar ikut-ikutan, apalagi sok-sok an! Bukankah ikan laut tak lantas menjadi asin di lautan garam? Bagi saya, kakak ini hidup nyerempet-nyerempet bahaya alias vivere pericoloso –sok meminjam Bung Karno.
Bagaimana ga bahaya. Kalau ga kuat, bisa terseret arus deras yang berujung pada ketidakjelasan masa depan. Terjebak dalam aktivitas semata, tanpa tujuan akhir yang terukur.
Dari mbak Mey juga saya tangkap tips membaca buku. Ada banyak buku, mulai filsafat hingga ideologi-ideologi yang butuh disaring saat membacanya. Persoalannya, kadang diterima mentah-mentah oleh siapa saja yang sedang mencari jati diri, seperti halnya bahaya memahami tafsir ajaran-ajaran keagamaan. “Kalau membaca, kuasai dirimu. Bukan buku yang menguasai dirimu seluruhnya,” kata dia. (mbak Mey, ingatkah dikau?)    
Oya, bukan hal-hal serius saja yang kami obrolkan. Terkadang konyol juga. Pernah suatu siang usai nyanyi-nyanyi Jumat, dia berbisik:
 “Eh, Sit, tahu nggak. Tadi aku keliru masukin persembahan. Tak kiro lima ratus, ternyata lima ribu,” kata dia sambil nyengir kuda, mencuat gigi kelincinya.
“Hah? Apa mau diambil lagi, mbak? Gak apa-apa dituker,” kata saya spontan. Itu mungkin banget. Soalnya, kami-kami juga yang mengelolanya.
“Ngawur. Ya, biarin aja. Kebacut,” kata dia. Lalu, kami tertawa. Hahahahaaa....(lima ribu rupiah pada masa itu (tengah tahun 1990-an) tergolong besar untuk ukuran mahasiswa di daerah). Bisa buat makan beberapa kali. Oya, si kakak ini tinggal bersama om-nya yang pengusaha. Istilah Jakartanya: tajir, bro and sist! 
Di lain waktu, kakak yang tak pernah absen mengenakan bawahan rok, mengendara motor Honda Grand-nya (sering ngebut malah) itu- bercerita soal hati (ini bukan rahasia, kok, wkwkwwkkaa). Mbak Mey ini –sudah Tionghoa, nasrani pula- didekati salah satu pria sesama pengelola majalah kampus. Sebut saja Tupai hahahaa.... Persoalannya, ini cowok, sudah muslim, jawa pula (rasanya malah luar jawa). Selain itu, mbak Mey pernah bilang kalau ia mempertimbangkan hidup selibat (tak menikah).
“Lha, kok ngeyel ndeketin mbak Mey?” tanya saya.
“Tahu nggak, dia bilang, katanya ia masih melihat harapan,” kata mbak Mey.
Dasar tuh cowok anak sastra Indonesia, hidup dengan diksi-diksi puisi hehehee.... 
Dus, saya kaget.
“Lha, bener gitu, mbak? Ada harapan?” tanyaku lagi.
Kali ini, saya lupa mimik wajah si kakak. Seingatku, si kakak yang ajaib itu diem aja. (mbak Mey, jadinya sekarang gimanaaa??? –saya tak berkontak lagi sejak dia lulus tahun 1998-1999 dan denger-denger lanjut belajar Sosiologi Pedesaan di UGM)
Harapan, ya, harapan. Kata itu menancap di kepala saya hingga kini hampir 20 tahun! Bahkan, untuk sesuatu yang hampir pasti enggak saja, masih terus dikejar. Sekalipun harapan itu barangkali sangat subyektif, searah saja; bukan melibatkan dua pihak. Tapi, ini soal isi hati, bung. Asmara! Lemas sayaa....
Nah, menyambung soal harapan yang sepihak dan asmara tadi, ada kisah beda lagi. Ini bukan tentang mbak Mey, tapi kawan lain lagi (yang ini kudu secret).
Si pejantan ini memilih menunggu seseorang –bunga hatinya- yang milik orang lain. Ia sirami hatinya setiap waktu dengan harapan. Ia pompa juga jantungnya dengan rapalan-rapalan harapan yang sama, bahwa suatu waktu akan tiba harinya ia memiliki buah hati itu dalam arti sebenar-benarnya. Sesungguhnya. Mesti, ia hanya bisa menunggu takdir (itupun kalau memang ada).
Wah, saya linglung. Bisa, ya, begitu? Akhirnya tersadar juga, bahwa tak ada yang tak mungkin soal itu. Misteri akan selalu menarik dan menjadi semacam adrenalin hingga ia menjelma menjadi sebuah kebenaran. Saya mengangguk-angguk saja. Bahkan, saya hormat dengan ketekunannya meniti-sirami harapan, meski mungkin subyektif. Kata saya, nyerempet-nyerempet bahaya juga itu rasa. Vivere pericoloso.
Dan,
Malam berganti pagi,
Yang ada hanya gelap,
Deru menjadi sunyi,
Ada tanya enggan lenyap: tak terjawa(p)

Jumat, 07 Februari 2014

Tuhan Urus Riswanto

Riswanto 

Ini dia sahabat jiwa dan jarak jauh saya. Bertemu pertama tahun 2006 di Boven Digoel, ketika singgah sesaat di kantor Wahana Visi Indonesia untuk sebuah perjalanan khusus. Saat itu, saya  mendengar kiprahnya sebagai fasilitator lapangan untuk kesehatan dan pendidikan. Namun, karena hanya sesaat, perlu memastikan komitmennya itu asli.
Tujuh tahun lewat, Agustus 2013 lalu, saya yang sudah menggebu-nggebu, akhirnya bersua lagi. Di sebuah hotel kecil berpenerangan remang pada terasnya, kami bertukar kabar secara langsung. Ia masih sama: kecil dan ramah dengan logat Papwa alias Papua campur Jawa.
Yup, mas Kris (47 tahun) ini orang asli Magelang, Jawa Tengah. Namun, separuh hidupnya ia curahkan di Tanah Papua sebagai staf WVI. Ia bukan misionaris atau pendakwah, tapi ia sudah berpindah dua kali di Papua sebelum akhirnya ditempatkan dan nyangkut di Digoel, kabupaten pemekaran dari Merauke. 
Jejak panggilannya di tanah rantau sebenarnya terlihat sejak ia memutuskan keluar dari pekerjaan idaman buanyak orang: PNS. Ya, ia sebelumnya adalah PNS di sebuah sekolah di Magelang sana. Namun, tahun 1990 ia memutuskan keluar dan memilih bergabung WVI untuk penempatan Papua. "Saya suka tantangan," kata dia. Ediuunn....  
          Salah satu kiprah terkini, mendampingi warga Kampung Ogenetan, Distrik Iniyandit, sekitar 2 jam perjalanan darat dari ibu kota Digoel, Tanah Merah. Bersama bapak kepala distrik (kecamatan), Riswanto mendirikan koperasi yang diberi nama Nonggup, yang berarti kebersamaan. Tak terbayang di kepala saya sebelumnya: warga asli di pedalaman Papua bisa berorganisasi. Sungguh sesuatu yang baru dan menyegarkan.
Keberadaan koperasi itu menjadi solusi ketergantungan warga terhadap tengkulak pembeli karet, sekaligus menyediakan bahan-bahan kebutuhan warga, mulai dari garam hingga baju-celana. Warga pun tak perlu lagi berjalan kaki berjam-jam menuju kampung sebelah untuk membeli kebutuhan harian mereka.
Antusiasme dan semangat Ris tak perlu diragukan. Ia memilih keluar dari WVI per tahun 2014 menyusul habisnya masa kerja layanan WVI di Digoel. Sebenarnya, ia bisa bergeser ke daerah lain. Tapi, tekadnya bulat: bertahan di sana.
 
 Lalu, bagaimana ia memperoleh penghasilan? "Ah, Tuhan pasti sediakan itu buat saya," kata ayah tiga anak yang semuanya tinggal di Magelang bersama istri -yang menemani orang tua Ris. 
Saya sungguh terheran-heran karenanya. Mereka berpisah jauh, ribuan kilometer. Lalu, bagaimana pulang kampungnya? Dulu, ketika masih di WVI, setidaknya setahun dua kali ia pulang kampung sekaligus pertemuan staf WVI di Jawa. Kini? "Ah, bisa saja kapan-kapan."
Benar saja, awal Januari 2014 kami berkontak lagi. Saat itu, Ris bersama beberapa anggota koperasi diundang paparan di Bogor. Ia gunakan kesempatan itu untuk menengok anak, istri, dan orangtuanya.
Lalu, sebenarnya apa alasan bertahan di Ogen?"Saya ingin dampingi warga Ogenetan sampai koperasinya mantab. Saya bisa tinggal di mana saja di sini," kata dia, tersenyum. Saking dekatnya, ia dipanggil paman atau "amo" oleh warga lokal. Ia disambut baik dan diterima terbuka oleh papa-papa dan mama-mama di sana. Suaranya didengar warga lokal yang jauh dari sentuhan birokrasi. Warga yang rindu ketulusan para pendamping program dan pendatang. 
 
 Salah satu teman dari Jakarta yang berkunjung ke Digoel, berkali-kali bertanya tentang "kenapa", "mengapa", "bagaimana", dan "apa" sehingga mau bertahan tanpa kejelasan masa depan nun di tanah orang asing sana. "Ah, nanti Tuhan yang urus. Kalau kita urus diri kita sendiri, Tuhan tak akan urus kita. Tapi, kalau kita urus orang lain, Tuhan akan urus kita dan keluarga," kata dia. Begitu terus setiap kali ditanya. Teman saya pun berulang geleng-geleng kepala. 
"Orang itu gila," kata si bapak, ketika kami mengobrolkan mas Ris. Menurut saya, mungkin gila bagi banyak orang, tapi tidak bagi mereka yang mempercayai penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Dan, mas Ris sudah mengalami itu secara langsung. 
  Di Ogenetan, ia masih punya mimpi mendampingi warga membuat pembibitan karet dan membuat semacam taman rekreasi lokal.   
Mudah-mudahan, seperti bertahun-tahun sebelumnya, ia ditolong mengambil jalan yang benar di setiap persimpangan demi kesejahteraan warga di tingkat lokal. Dan, tak terjebak dalam "goro-goro" perpolitikan lokal yang kini marak.
Ya, Tuhan urus Riswanto. Aminn....
 
Biji karet di kebun karet Ogenetan yang ditanam sejak era kolonial

Pekebun karet sedang mengolah karet menjadi lembaran-lemabaran sebelum dijual ke pabrik. Mereka eksis, salah satunya karena kebradaan koeparasi Nonggup.

Mas Ris (berjaket hitam, tengah) bersama pengurus koperasi, warga Ogenetan, staf WVI, dan rombongan dari Jakarta. Lokasi di muka rumah koperasi dengan latar belakang kebun karet (Agustus 2013).
  

  
 

Rabu, 05 Februari 2014

Bung Karno Di Kampung Wet

Akhir Agustus 2013. 
Berdiri menghadap tegak monumen di TMP Boven Digoel di Kampung Wet terasa berbeda. Bukan karena cerita mistis. Bukan pula sok nasionalis. Apalagi, merasa sebagai generasi penerus bangsa yang sedang berjanji sehidup semati membela negeri (jiaahhh....). Bukannn....

Agustus itu adalah kali kedua saya berdiri di bawah monumen yang sudah kusam itu. Pertama kali, saya ada di sana tahun 2006 dalam sebuah perjalanan tugas. Saat itu, monumen tersebut tak lebih saya pandang sebagai benda mati, hiasan wajib di semua taman makam pahlawan seperti layaknya TMP di seantero negeri. Itu saja. 
Oya, melenceng dikit. Waktu itu, saya yang pergi bersama teman fotografer, Priyombodo (nama sebenarnya hehehehee....), menemui "insiden" kecil di pemakaman itu. Si fotografer menenteng kamera bertele gede, ketika mendatangi anak-anak asli Boven yang sedang bermain. Tak ayal, mereka berhamburan lari menghilang, meloncat pagar. Tak lama, dua atau tiga bapak menuju ke kami sambil membawa parang. Kami sih santai saja, kan nggak ngapa-ngapain juga.
Eee...ternyata si bocah-bocah gundul tadi ngadu ke papa-papa mereka, katanya hendak kami culik! (Busyeett...kurang kerjaan apa. Di Jakarta lebih buanyak kalau mo nyulik-nyulik begitoouuww...) 
Syukur bin big thanks to God, pemandu kami, tokoh pemuda lokal datang tepat waktu. Kayak jagoan-jagoan film laga yang datang saat sohibnya yang tak berdaya kritis menghadapi maut. 
Setelah mereka saling ba-bi-bu pakai bahasa lokal, akhirnya kami terbebas dari tudingan "perbuatan tidak menyenangkan". 

Kembali ke monumen.
Ya, monumen itu bukanlah bangunan biasa. Keberadaannya spesial. Bahkan, bisa disebut sangat spesial. Monumen itu sepotong sejarah integrasi Papua ke Tanah Air Indonesia. Monumen dibangun atas perintah langsung Bung Karno, sang proklamator.
Informasi itu saya peroleh langsung dari perupa senior Edhi Sunarso (80 tahun/2013), ketika bertandang untuk sebuah keperluan lain. Di ruang tamu rumahnya di Yogyakarta tahun 2010 lalu, perupa yang merancang monumen "Selamat Datang" di Bundaran HI, Jakarta, itu, membuka kisah. Sungguh mengagetkan. "Monumen di TMP Digoel itu saya yang bikin." (Jedheerrr...saya seperti tersambar kilat). 
Jadii..jad..jad..jadii...(eng ing enngg...lebay dikit!). Jadi, monumen dengan sosok manusia hitam kurus kering memegang senapan berbahan besi cembung itu buatan beliau. Saya duduk di depan perupa pembuatnya, nun di sana. Lebih kaget lagi, mbah Edhi itu belum pernah melihat langsung hasil karyanya. Singkat cerita, lain waktu, saya singgah ke rumahnya lagi, membawa beberapa lembar foto bergambar monumen tadi. 
Kata mbah Edhi lagi, sosok manusia itu terbangun dari beberapa plat besi (entah tembaga atau kuningan saya lupa) dan dicetak di Jakarta kalau nggak Yogyakarta (maaf tahunnya saya lupa--kalau gak salah 1960-an)). Lalu, diangkut menggunakan pesawat khusus menuju Boven Digoel. Saya sungguh-sungguh takjub jub jub!
Katanya lagi, plat-plat itu diusung berjalan kaki dari bandara Tanah Merah menuju lokasi TMP di Kampung Wet, yang seingat saya berjarak sekitar 4 kilometer (maaf kalau salah). 

Bagi saya atau mungkin anda, atau siapa lagi yang pernah ke Boven Digoel dan singgah ke TMP yang agak pelosok itu, barangkali terheran juga. Buat apa ada monumen dan TMP di Digoel. Apa yang hendak digapai? Kenapa? Mengapa? dll.
Barangkali, benar juga yang disampaikan mbah Edhi. Bung Karno itu berpikir dan bertindak melampaui zamannya. Apa yang dia lakukan, dalam beberapa hal, seringkali tidak cocok jika ditilik pada zamannya. Namun, akhirnya terjawab beberapa masa kemudian. 
Untuk monumen dan TMP itu, barangkali juga, lebih kuat timbangan politisnya. Ada maksud khusus yang hendak didapat dari keberadaannya. Kalau tidak, buat apa jauh-jauh terbang hanya mengangkut plat-plat logam ribuan kilometer pada masa ketika semua serba sulit? Untuk apa pula mengerahkan tenaga mengangkut plat-plat itu berjalan kaki? 
Tapi, apa maksudnya? Yaaa, mungkin ini terkait dengan integrasi tadi. Jiwa zaman yang paling pas barangkali memang itu. 

Usai mendengar langsung kisah dari mbah Edhi di siang hujan deras itu, kembali hati saya berdesir-desir akan Boven Digoel. Mungkin levelnya super duper obsessed. Maka, ajakan berkunjung ke Digoel tengah tahun 2013 itu sungguh sangat sulit saya lepas-relakan untuk orang lain. 
      Dan, Agustus 2013 lalu, berdiri mematung di muka monumen tegak itu sungguh jauh berbeda rasanya dibanding tahun 2006. Bila teman-teman lain seperti tak tertarik dengannya -seperti saya tahun 2006 silam- perasaan saya saat itu bergemuruh dalam sikap mematung.
Saya "melihat" dan "merasakan" Bung Karno di sana -ketika sore mendung-, meski tak lama. 
    
Masih ada banyak kisah lain di Digoel.   



   
 

Senin, 03 Februari 2014

Ziarah Batin ke Ogenetan

Boven Digoel. 
Nama daerah ini saya kenal ketika saya masih unyu, ketika SD di kota gudeg sono, Yogyes. Daerahnya disebut-sebut sangat terpencil, serba sulit, diintai malaria, di tengah hutan lebat, sungai penuh buaya, dll. Kini, dua kali sudah (2006 dan 2013) saya menginjakkan kaki di sana: kota bersejarah, dimana "bapak koperasi" M Hatta dan "bung kecil" Sjahrir, serta Sayuti Melik pernah diasingkan. Dan, bayangan serba sulit dan mengerikan itu tak benar adanya. Bahwa masih menghias diri sebagai kota, iya!

Kembali pada kunjungan ke-2, sungguh membuat hati berdesir kencang, melebihi desiran lembut saat hendak jumpa bunga hati (sungguhh...). Curcol dikit, saya -yang biasanya tak pernah meminta tugas- kali ini sampai memberanikan diri meminta. "Saya saja yang berangkat (heheheeee...)." Dan, gayung bersambut, bos saya dengan berbaik hati (seperti biasa sih), merelakan kepergian saya dengan berat hati (lebay!). 

Kali ini, saya pergi bersama Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) -saya kenal organisasi ini sejak saya masih menggerogoti bangku kuliah (koyo tikus hihihihii). Saya hormat betul dengan organisasi yang fokus pada pendidikan dan kesehatan anak, remaja, dan ibu-ibu itu. Singkat cerita, tibalah saya di Merauke, kota yang berajarak belasan jam dari Boven Digoel menggunakan mobil bergardan ganda (siap-siap remuk bodi diayun lubang jalanan, apalagi bila musim hujan). Saya siap betul dengan risiko itu, karena ada misi pribadi (huahahaaaa....sstt!) 

Perjalanan kali ini tergolong nyaman, meski harus berbagi bangku dengan teman-teman perjalanan di dalam mobil Ford Everest! (Edan nggak man, mobil mewah di kota besar, di Papua cuma jadi "omprengan" --- makanya, jangan belagu kik kik kik...). Kira-kira, 11 jam perjalanan kami menembus taman nasional Wasur, hutan skunder, dan kebun sawit.

Saya hendak berbagi kisah tentang sebuah kampung di Distrik Iniyandit, yang berjarak 2 jam perjalanan darat (kalau lancar) dari Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel. Namanya, kampung Ogenetan. Kampung ini ada di antara kebun karet sejak zaman Belanda. Kini, dihuni sekitar 300-an jiwa. 

Berpuluh tahun eksis, kampung ini jarang disinggahi pejabat, atau tamu-tamu dari ibu kota negara: Jakarta. Jadi, jangan heran kalau kami disambut dengan tari-tarian khas yang mengharukan, berikut nyanyian mama-mama plus penerjemah penduduk lokal (lihat foto dan video). Di sana, kami sebenarnya melihat sebuah koperasi (Nonggup namanya, yang artinya kebersamaan). 

Whattt? Are you killing me? (kidding kaleee). Jauh-jauh ke pedalaman hanya melihat koperasi? (apaaaaa...??)  Di kantor gue juga ada, malah lebih majouw! Tunggu dulu, kawans. Ini jauh dari bayangan atau isi benak-kepala orang-orang kota. Apalagi Jakarta yang sok kosmopolit, moderen, maju, bla bla bla...

     Ini sebuah ziarah!!

Para mama bertestimoni. Mereka tak perlu lagi berjalan kaki menyisir tepian hutan selama 3-4 jam jalan kaki ke kampung terdekat. Hanya untuk membeli kebutuhan dapur, seperti minyak goreng, beras, garam, dan aneka jenis kebutuhan lain. Semua kebutuhan mereka tercukupkan di koperasi yang menempati bangunan kayu rumah dinas guru yang ditinggal pergi penghuninya itu.

Dulu, mama-mama atau kalau beruntung didampingi suaminya, harus pergi subuh pulang gelap sambil membawa anak bungsu mereka. Ke kampung sebelah itu, mereka membawa kangkung atau daun lokal atau karet mentah untuk dijual, lalu uangnya untuk membelu kebutuhan rumah. Berpuluh tahun seperti itu! 
Bayangkan, kalau itu keluarga kita: ibu, mama, mak, bunda, atau simbok kita yang melakukan ritual itu? Betapa berharganya koperasi itu, tak peduli bentuk bangunan fisiknya seperti apa. Ini soal perkembangan sebuah kampung menuju mandiri. Sinyal hp? please, deh!

Secara langsung dan telak, koperasi memudahkan warga. Kini, waktu yang dulu digunakan mama-mama untuk menempuh perjalanan jauh, bisa dimanfaatkan menemani anak-anak bermain atau belajar. Ada waktu lebih yang berkualitas. 
Koperasi juga menampung hasil dari kebun karet untuk dijual ke perusahaan dengan harga bersaing, Koperasi juga membuat anggota lebih kompak. Mereka memantau harga dan memastikan memiliki daya tawar lebih. Dampak lanjutannya, tengkulak-tengkulak karet yang selama ini mengatur harga semaunya, tak lagi berkeliaran di kampung itu. Pergi, lenyap entah kemana (cadasss....)

Koperasi itu juga menjadi tempat belajar warga dari kampung atau distrik lain. Bahkan, Nonggup juga diundang paparan di Makassar, hingga Bogor dan Jakarta. "Sudah beberapa kali kami ke sana," kata mas Riswanto, salah satu penggerak koperasi. Ayah tiga anak ini dulu staf lapangan WVI, yang kemudian keluar demi keberlanjutan Nonggup, setelah WVI tak lagi berada di Digoel. Mas Ris ini sahabat fisik dan jiwa saya. Kasihnya nyata liar biasa. Anak istrinya tinggal di Magelang, menemani orangtua mas Ris yang sudah sepuh (tua). 

So, pengalaman ini sungguh sangat menggugah. Sangat luarbiasa untuk menggantikan ungkapan saya yang speechless. Sekali lagi, ini ziarah. Ini melebihi khotbah kehidupan di mimbar-mimbar. 
Hormat bagi orang-orang dan lembaga yang dengan tekun dan sabar hati mendampingi warga pedalaman untuk menuju tingkat kehidupan yang lebih baik. Ya, mendampingi! Bukan instruksi, apalagi tipu-tipu.   
Kalau sudah begini, tiada arti penat belasan jam perjalanan. Tiada lagi keluh kesusahan. Semua terbayar: lunas. Bahkan, tersisa untuk jiwa yang kering. Dan, masih banyak cerita yang bisa saya bagikan di esok atau kemudian hari. 

Entah kenapa, saya yakin suatu hari, kan, sampai di sana lagi. Itu pula yang saya yakini tahun 2006, ketika pertama kali singgah di Boven Digoel, yang kini terwujud. Semoga. 
 



Sambutan tari khas dengan perangkat tari yang "apa adanya", tetapi pada saat yang sama menunjukkan bahwa mereka memberikan segala yang mereka punya. Luar biasaaa....



 Gambar di bawah ini berlatar belakang rumah telepon sisa-sisa program Desa Berdering Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ada teleponnya, tapi langsung mati setelah diresmikan tahun 2012 lalu. Berkali-kali diurus hingga kabupaten, tak ada perubahan.  
Karet merupakan komoditi warisan lama yang menjadi andalan warga. Kini, dengan pendampingan, warga memiliki daya tawar dengan pembeli. Tengkulak-tengkulak pun hilang lenyap.  Dengan harga bersaing, warga pun giat menderes karet dan mengolahnya, sebelum dijual ke perwakilan pabrik dengan harga hingga Rp 20.000 per kilogram. Sebelumnya, hanya Rp 5.000 per kg.



 Koperasi Nonggup dari dalam. Sangat sederhana bila dibandingkan koperasi-koperasi di kota lain. Tapi, Nonggup memiliki dampak nyata yang sangat menolong warga Ogenetan. Dari sinilah awal mula masa depan kampung tanpa sinyal telepon itu.

Numpang narsis di halaman koperasi dan tepi hutan karet di Ogenetan. Mudah-mudahan majulah terus saudara-saudaraku nun di ujung sana. Aminnnn.....
 VIDEO PENYAMBUTAN 



Dua bocah generasi Ogenetan.

Minggu, 02 Februari 2014

Terima Kasih Babe "Om"

Setidaknya, lima tahun sudah saya mengenal bapak tua satu ini (maaf sengaja no picture - secret hihhii). Saya memanggilnya "om". Tapi, orang-orang sekitarnya memanggil dia "babe". 
Secara fisik, si om ini keturunan Tionghoa. Tepatnya, dari Padang, Sumatera Barat. Secara karir, ia pensiunan pejabat penting di sebuah perusahaan farmasi berjejaring global. Namun, berkenalan lima tahun, tak pernah ia menyebut-nyebut jabatan persisnya. Saya justru tahu dari berkas-berkas yang terselip di tumpukan barang-barang unik di kiosnya, di bilangan Mayestik, Jakarta Selatan.
Ia lebih suka berbagi kisah bagaimana menjaga kesehatan dengan tips-tips sederhana. Banyak minum air putih, banyakin buah, senam ringan pagi usai bangun tidur, dan olahraga ringan (yaelah, itu juga saya tahu, om hehehee..anyway, thanks a lot)

Si om ini bertahun-tahun menjalankan bisnis di kios barang-barang antik (versinya dia). Koleksi yang ia punya selama tugas ke berbagai daerah dan negara. Bener-bener banyak dan aneh-aneh. Dan, sebagian "diwariskan" ke saya. (tentu tidak gratis. jlebh)
Namun, dengan berat hati, saya harus melepas "kepergiannya". Kiosnya tutup untuk selama-lamanya. Si om, sih, tetap sehat di usianya. "Sewanya ketinggian," bisiknya suatu ketika. Ia resmi tutup akhir Januari 2014. 

Namun, ini awal ceritanya...

Sebenarnya, bisnis kecil bernilai besar itu hanya sarana. Ya, sarana si om untuk gaul. Sungguh, bener-bener gaul dengan para pedagang barang-barang seken, antik, lama yang -mungkin pernah anda lihat di seberang Pasar Rumput. Kios lamanya digusur bersama kios-kios lain untuk digantikan bangunan ruko atau entahlah, masih dikerjain, tuh.
Setiap hari, biasanya si om datang jam 11.00, kerjaannya buka toko, trus ditinggal main catur dengan para pedagang lapak. Kadang serius, kadang cekakak-cekikik, kadang terbahak-bahak. "Di rumah aja ngapain, kan?" kata dia. 

Yang saya salut, si om ini satu-satunya kaum Tionghoa di antara "lautan" pedagang dari berbagai suku. Ia tak canggung. Santai saja. Dan, orang-orang di sekitarnya hormat padanya. Gelar "babe" setidaknya saya pahami sebagai wujud kedekatan sekaligus hormat. Tapi, tetap saja saya panggil dia, om. (padahal, umurnya hampir dua kali lipat saya)

Dari sesama pedagang pula saya tahu kisah si om nyentrik ini. "Babe suka bagi-bagi rejeki ke kita-kita," kata salah satu pedagang. "Kita-kita" yang dimaksud, ya, sesama pedagang maupun orang-orang yang suka nongkrong di situ, termasuk pengemis! (bingung saya. ini sesama pedagang malah bagi-bagi rejeki. piye tho?)
Tapi, itulah adanya. Bahkan, kalau pas lebaran atau natal (si om itu nasrani), si om bagi-bagi kue atau makanan ringan juga. Bahkan lagi, saya pernah lihat sendiri dia bagi-bagi "angpao". Tapi, tak pernah sekalipun ia sesumbar soal itu. Terkunci rapat. Salute!!

Seperti om bilang sendiri, ia sebenarnya mencari teman dalam bisnisnya itu, meskipun mencari cuan (untung) juga. Secara materi, sebenarnya lebih dari cukup. Dua anaknya sudah mandiri, salah satunya bekerja di salah organisasi PBB yang bermarkas di Indonesia. Si om pun tinggal di perumahan kelas premium, bahkan mungkin pertamax atau malah v-power (halah).

Kini, "bisnisnya" mungkin memang sudah berakhir. Tapi, tidak aktivitasnya. Ia tetap saja rutin mendatangi koleganya untuk bermain catur dan hahahihi....
Sebelum akhirnya menutup kiosnya, ia sempat mengobral barang-barang uniknya. Bahkan, sebagian dibagi-bagikan ke pedagang lain yang ia tahu bermodal cekak. Saya kenal betul apa yang ada di kios-kiosnya yang lalu tercerai-berai ke lapak-lapak sederhana. 
Sekali lagi, mungkin saja kami tak berbisnis dan bersua serutin dulu. Tapi, si om adalah "guru" sekaligus "model" saya. Ia guru yang mengajar kerendahatian dan melihat sesama sebagai sesama. Tak ada sekat yang membatasi pergaulan. Jadilah berkat atau barokah bagi sesama juga. Berbisnislah dengan hati, bukan hanya otak dan demi cuan semata.
Si om adalah model, betapa perbedaan bukanlah batas, bukan pemisah. Betapa rukunnya kelompok masyarakat bila perbedaan yang ada tidak dijadikan pembeda. Alami saja.  

Terima kasih, om, babe....        
    

Belajar dari Pujiono


Namanya Pujiono, umurnya 27 tahun.
Ngakunya dari Cilacap, Jawa Tengah. Peserta audisi Indonesian Idol 2014
itu seorang pengamen. Tapi, ia istimewa. Bukan karena penampilannya
secara fisik, tetapi lagu yang ia ciptakan sendiri (setidaknya, itu
pengakuannya). Judulnya "Manisnya Negeriku".
Syair lagunya sederhana, tapi pesannya sungguh kontekstual dan bernas.
Negeri
ini banyak suku dan budaya, serta agama. Ia ingatkan Pancasila dan
Bhinekka Tunggal Ika. Negeri ini juga kaya sumber daya alamnya, sehingga
patutlah dijaga. Ia sebut pula UUD 1945. "Jangan sampai terpecah pihak
lainnya atau bangsa lainnya". Itu syair Pujiono. Lagi-lagi, ia "hanya"
pengamen jalanan.
Faktanya,
apa yang dinyanyikan Pujiono adalah kegetiran. Suku-suku berperang.
Agama jadi kendaraan untuk membunuh sesama. Sumber daya alam dikuasai
asing atau anak bangsa yang keblinger. 
Pujiono bukanlah Iwan Fals atau Doel Sumbang, yang jauh lebih ngetop-tersohor. 
Tapi,
ini bukan soal ngetop atau tersohornya. Kehadirannya memberi wajah
lain, bukan karena secara fisik ia disebut juri tidak menjual dari sisi tayangan tv
yang serba polesan. 
Tapi, "wajah"
Pujiono adalah "wajah" yang seharusnya dimiliki para politisi,
akademisi, birokrat, teknokrat, budayawan, dan petinggi negeri. Negeri
ini butuh kegelisahan berat yang disuarakan Pujiono. 
Nyanyian
Pujiono sederhana, tapi enak didengar. Syairnya juga enak dinyanyikan,
tapi getir bila diperhatikan sungguh-sungguh. Inilah ironi negeri yang
dengan cerdas dan semi jenaka diangkat Pujiono dengan siulan khasnya.
Layaklah kiranya berterimakasih pada dia. 
   

Presiden Rakyat atau Presiden Duit

Namanya Said. Titelnya haji. Usianya hampir 70 tahun dengan pendidikan yang tak terlalu jelas di Madura sana.
Yang jelas, ia juragan mebel seken sekaligus reparator yang menempati lahan sewa di kawasan Ciputat, Jaksel. 
Suatu sore gerimis, tiba-tiba ia yang berbaju koko plus sarung (abis mandi kayaknya hehehe...)  mengajak saya yang sedang singgah, berdiskusi. Berat, soal presiden! 
Berpuluh kali singgah, baru kali ini saya dengar nyebut-nyebut presiden segala.
Boleh juga nih, pikir saya. Biasanya, dia mah ngobrolin kayu-harga-jual-beli doang.
"Kita ini diberi yang baik, milihnya yang jelek," buka pria berjenggot tanggung itu.
"Weittss....apa maksudnya, pak Haji?" sahut saya. Saya siap-siap telinga aja.
"Lha, iya, tho. Dulu ada Gus Dur, diberhentikan. Katanya enggak bener. Sekarang sudah mati (beneran, dia bilang begitu), kuburannya enggak pernah sepi. Itu artinya dia dicintai rakyatnya," kata dia lagi. "Gus Dur itu, kan, keturunan Wali." (saya ngangguk aja, secara dia orang Madura. Yang begituan ada dalam darah dagingnya, tho)
"Oooo...begitu, ya," kataku lagi. "Terus?"
"Lha, yang sekarang ini, semua diambilin. Keluarganya ikut maling (saya nggak nambahin dan nggak sensor. Aslinya bilang begitu, yang ia simpulkan dari simpang siur pemberitaan). Apalagi namanya kalau bukan presiden duit," katanya lagi. (waduh, gaswat nih orang ngomongnya)
Semua, kata dia lagi, ikut-ikutan maling. Korupsi dimana-mana. Yang korupsi gede-gedean didiemin aja kabur ke luar negeri. Yang kecil, puluhan atau seratus juta, dikejar-kejar. Bahkan, ambil ayam saja diadili serius. "Pedagang kecil di kereta sekarang juga nggak boleh, kan?" kata dia lagi. (lha, kok sampe pedagang asongan segala nih diskusi?? tapi, biarlah)
"Tapi, pak Haji, biarpun sejuta, kalau mencuri, ya mencuri, kan?" umpanku.
Langsung disambar, "Benar, memang. Tapi, yang gede jangan didiamkan saja. Bagus itu, ada yang dari cina ditangkap dibawa ke sini untuk diperiksa (Anggoro Widjojo, maksudnya)," kata dia lagi. 
   
Ia, lalu menyorot aksi-aksi Jokowi, yang ia tahu dari tv, mau terjun ngunjungi orang banjir. Bahkan, sebelumnya masuk got-got atau saluran air di Jakarta. "Gajinya di Solo juga nggak diambil katanya," kata dia. (Iya, kali pak Haji). "Dia juga mau nerima orang-orang biasa. Mau makan di warteg sama bu Mega. Itu yang disukai rakyat." (update dari tv nih pasti).
"Kita ini butuh presiden rakyat, bukan presiden duit," tambah dia. 
"Pilih yang bagus, ya, jangan yang jelek," kata saya. "Bener, itu. Benerr...saya juga pikir begitu," kata pak Haji. (Kan, situ, yang bilang di awal tadi, pak Hajiii...) 
"Lalu, wakilnya siapa kira-kira yang cocok?" tanya saya.
 "Apaa?" kata dia. (waduh, memang repot kalau diskusi sama lansia bgene hehehee....). 
"Wakilnya, pak Hajeee...?"
"Oooo...kalau itu, katanya masih diserahkan bu Mega," sahut dia. (kata siapa, yakk?? bingung saya)
  
Sebelum saya tambah linglung, datanglah teman pak haji, yang juga bersarung dan berbaju koko. Dan, mereka bersahutan dengan bahasa Madura yang tak saya mengerti sama sekali.
"Pak Haji, saya pulang dulu, ya. Mau ke Pak Udin," pamit saya. Seperti biasa, saya pun salaman.
(Pak Udin itu sesama pedagang benda-benda ajaib gitu, tapi berasal dari Pekalongan. Kiosnya dua rumah di sebelah Haji Said). 
Melangkahlah kaki ke kios Udin di tengah gerimis kecil. Berharap menyambung obrolan lain, yang sebelumnya sudah kami lakukan sebelum saya singgah ke pak Haji. 
Masuk ke kios Udin yang sesak dan berantakan oleh tumpukan mebel dan ceceran mur-baut-paku, dll, yang hidup hanya suara dendang radio dan siaran berita sore di televisi. Sungguh mirip adu balap motor bisingnya. 
Dan, si Udinnya molor lor lor di bangku kayu. Dua jari tangannya mengapit sebatang rokok yang masih menyala setengah. "Kamprett...," pikir saya. (bukan nyumpahin, tapi kata lain dari sial untuk saya sendiri).
"Mas...mas...tak mulih sik, yo," kata saya, setelah ia memicingkan mata. "Oooo...yo. Suwun yoo...," trus merem lagi. (suwun apanya? orang saya cuma mampir)
Hahahaaaa...saya suka "drama" sore itu: tak dibuat-buat, tak berjarak.
Apapun itu...
Ini nyata di Indonesia. Bahwa, tak peduli tua-muda, berpendidikan atau tidak, laki-perempuan, suku anda dari mana, tayangan televisi sungguh sudah merasuk dalam ke alam pikir penonton. 
Yang namanya tayangan atau berita (tv, cetak, daring, dll), hendaknya disiapkan sungguh-sungguh. Sejelas mungkin, agar diterima utuh dan tak disalah-mengerti jutaan pasang mata dengan beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaannya.