Selasa, 15 Juli 2014

Brasil, Antara Cinta, Cibir, dan Kedewasaan

Perhelatan Piala Dunia Brasil 2014 usai 13 Juli 2014 dengan kemenangan tim "Panzer" Jerman setelah menekuk tim Argentina (hwaaa...tim favorit saya). Bagaimanapun, congrats buat para penggila Jerman. Bagaimanapooon, it's just a game, khaannn....

Nhaa, ini menariknya.

Ngomong-ngomong soal game, menarik sungguh melihat nasib tim Brasil, tim tuan rumah yang digadang-gadang bakal menjadi kampiun PilDun kali ini. Namun, apa daya, mereka hancur dicukur hampir botak sama si Jerman tadi, 7-1. Bener-bener edan sak edan-edunnya.

Lebih edian lage, di babak pertama aja udah dibantai 4-0.  Ingat, ini Brasil, bro n sis, bukan PSSI (lhoooo...njur kenapa? maap para PSSI mania, hanya realistis ajah)
Saya yang bukan penggila Brasil, bukan orang Brasil, tak bertaut apapun dengan orang Brasil, belum pernah ke Brasil, dan belum menginjakkan kaki di Amazon saja ikut pilu melihat wajah-wajah suporter tim Tango yang lesu dan nganga tak percaya tim mereka dipermainkan Jerman. Kasihan sungguh.

Tapi, ini bukan soal kasihan mengasihani. Ingat, ini hanya permainan.

Usai hari pembantaian di laga semifinal itu (empat besar kalau belum paham), media-media menyorot tajam dan nyinyir terhadap tim Brasil. Apalagi media-media di Brasil, sono. Ada yang meminta si pelatih, Felipe Scholari mundur, dll.

Namun, waktu terus berjalan.

Pada babak perebutan juara 3-4, Brasil melawan Belanda (ditekuk Argentina dalam adu penalti, 4-2). Dengan semangat juang, seakan hendak menghapus deras air mata dan nganga tak percaya para suporter pada laga sebelumnya, Thiago Silva dkk berjibaku mati-matian. Mereka berlari dan terus berlari, setelah statistik laga sebelumnya ketahuan sebagai tim paling malas berlari (maen bola kok males lari ki kepriben...). Ada bola dikejar, lepas bola langsung dikejar lagi, ga ada bola tetap ngejar (kalau ini hiperaktif kayaknya hahaha...).

Namun, sekali lagi apa daya sodara-sodaraaa. Ternyata oh ternyataa para pemirsaaaa...mereka kalah maning. Kali ini lumayanlah, "hanya" 3-0. Tetap saja kalah dan memalukan. Lagi-lagi air mata mengalir deras. Tak sedikit anak-anak yang menyaksikan pahlawan mereka ditekuk, sesenggukan. Pula para remaja, pemuda, dan dewasa. Nganga lagi tak percaya.

Segera saja, hujan cacian dan sumpah serapah muncul dari para penonton dan pemuja. Bahkan, sejak pertandingan belum usai pun, tak sedikit mereka yang memilih keluar stadion. Lesu selesu-lesunya pokoknya.

Bagi saya yang pernah nonton langsung sepakbola tim kebanggaan di stadion, itulah tabiat para suporter bila ada nada-nada tim akan kalah. Bahkan, tak jarang melempar botol air kemasan atau malah batu ke lapangan. Cacian mah sepeleeee kaleee...itu fakta yang ada di negeri tercinta dengan banyak pencoleng ini.

Kembali ke Brasil lagi. Sungguh terkejut saya, ketika nonton wawancara TV dengan salah satu suporter perempuan Brasil. Dengan wajah terkendali, tak menangis atau kecewa, ia merespons kekalahan itu dengan rasional: "Saya tentu berharap Brasil menang kali ini. Tapi, mereka kalah lagi. Saya tetap menghormati mereka, yang sudah berjuang dan mewakili negara dengan sekuat tenaga dan bermain baik."

Waahhh...hebat bener tuh perempuan. Katanya, perempuan lebih kuat sisi emosionalnya. Lha, ini tidak. Ia tenang, rasional, dan teratur. Karakter beginilah sesungguhnya yang harus dimiliki setiap pendukung apapun.

Ingat, bagaimanapun, sepakbola adalah permainan. It's a game! Bermainlan sebaik mungkin, sisanya biarkan dewa-dewi keberuntungan yang turut bekerja. Jika permainan dimasukkan dalam nalar lebih dari permainan, maka sebenarnya kita tak sedang menikmati bermain atau permainan. Tapi, membunuh kesenangan itu sendiri. Memang mudah ngomongnya, tapi bukan berarti harus membohongi diri, tho? Memang begitu adanya, bukan?

Salut sungguh buat si mbak Brasil tadi. Dari mulutnya, mengalir cinta yang tak berubah jadi cibir. Itulah arti kedewasaan.    

Kalau menang-kalah dalam konteks Pilpres 2014 gimana, ya? Nhaaa...ini yang masih ngeri.
  



 
    
 

Selasa, 01 Juli 2014

Inspirasi dalam Dua Menit

Minggu (15/6) pagi waktu Indonesia. 
Piala Dunia Brasil 2014 menampilkan duel Jepang-Pantai Gading (berharga banget nih pantai). 
Jepang mendominasi permainan dengan keunggulan 1-0 pada menit ke-16. Pertandingan seperti tak berimbang. Pantai Gading dikurung. Jepang sepertinya hendak pesta pagi itu. 
Hingga, ya, hingga menit ke-62, sang pelatih Pantai Gading menurunkan Didier Drogba, pemain kawakan eks bintang Chelsea yang tangguh hingga dijuluki "Drogbazooka". 
Lalu, apa yang terjadi lapangan sodara-sodaraaa...
Ya, benar: GOLLLLL....
Sejak detik pertama Droga masuk, sungguh ajaib, permainan seperti berubah total. Energi pemain Pantai Gading seperti dipompa dua kali lipat lebih. Sebaliknya, para pemain tim samurai biru seperti salah tingkah. Sungguh aneh binti ajaibah. 
Bagaimana nggak aneh. Dua menit sejak Drogba merumput, timnya menyamakan kedudukan, 1-1. Selesai? Belum, sodara-sodaraa.
Dua menit setelah itu, lagi-lagi Pantai Gading ngegolin. Edan. Pantai Gading berbalik unggul, 2-1. 
Bagi saya yang menonton langsung pertandingan itu, sungguh luar biasa efek Drogba (bukan efek Jokowi yee...kekekeee) 
Bayangkan, empat menit sejak si Drogba masuk, keadaan berbalik total hingga akhirnya pesta Jepang yang seolah-olah akan mereka lakoni pascapertandingan itu, sirna. Samurai biru dibekuk tim Gading. 
Pelatih Jepang tak habis pikir dengan perubahan ekstrem itu. Seolah-olah, satu tim Jepang berhadapan dengan Drogba seorang. 
"Dia seorang juara," sebut pelatih Pantai Gading, merujuk Drogba. 
Drogba sendiri merendah, bahwa justru yunior-yuniornya di tim itulah yang pantas diapresiasi sungguh. Well...hebat si Drogba. Dalam konteks ini, ia rendah hati sekaleee....
Apapun komentar si A dan si B, hingga si Z, buat saya inilah arti nyata I.N.S.P.I.R.A.S.I. 
Ya, bukan karena kata, bukan karena hal lain, tapi cukup dengan hadir saja, mampu mengubah sesuatu menjadi menakjubkan, dan sangat positif hingga mencapai tujuan. 
Seringkali, saya mencari apa sesungguhnya inspirasi itu. Minggu dinihari itu, Drogba menjadi anekdot, apa dan bagaimana sesungguhnya inspirasi bekerja dan apa itu inspirator. 
Saa itu, Drogba tak menghasilkan gol. Tapi, bermain bagus.  
Yah, itulah inspirasi. 
Inspirator tak harus menonjol. Tak harus berteriak-teriak. Ia bisa saja kalem, tenang, dan menjalankan perannya sebaik mungkin. 
Sebab, kehadirannya lebih dari itu.
Terima kasih, mas bro Drogba.   




Jakarta Sepanjang Palmerah-Benhil

Jumat (20/6), sekitar pukul 13.00. Terik surya lagi murah-murahnya. 
Bersepeda motor mengejar janji yang kudu cepat. Eeehh...malah motor setia saya jebrat jebret tanda-tanda "masuk angin". Hwaaa...bener juga, mesin matek di jalan.
Sontak menolak mengeluh, energi paling ramah di bumi, alias jurus kaki mengayuh dipraktikan menuju SPBU terdekat di kawasan Bendungan Hilir. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari titik si bejo (nama motor tahun 2001 saya) ngadat.
Lumayan berat juga, namanya juga motor cowok bertangki agak gedean. Tapi, pantar mundung. 
Sekitar 100 meter mengayuh kaki di atas bodi motor ngadat, pengendara motor bebek mendorong footstep motor belakang saya. 
"Äyo, bang, saya dorong. Kenapa?" kata dan tanya si pengendara. Saya pun menoleh karena kaget (campur senang tentunya hehehee...). Ohh, mereka ternyata dua pemuda tukang AC, yang kelihatan dari bawaannya: tabung freon ijo, kotak plastik isi kabel, tapi tanpa tangga.
    "Iya, neh, motor keabisan bensin," sahut saya antusias sembari ngos-ngosan dikit (hadeuuhhh betis cenut-cenut, napas tersengal-sengal, bodi kayak mandi sauna)
Sekitar 500 meter saya menikmati dorongan hingga masuk pintu SPBU. 
"Makasihh banget, banggg...." kata saya girang sambil melambaikan tangan kanan (kalau dua-duanya ambruk dong saya). Ayem rasanya, karena janji molor dikit tetap akan kekejar. 
Blaik, ternyata antre sekitar 10 motor. Tapi, yang penting segera "greng" lagi, nih, bejo. 
Apa daya, ternyata setelah membuka tangki, bensin masih ada separoh. Lhhaaahhh???
Dorong sana, dorong sini, masukin gigi sambil lari, bejo tetap membisu. Mengeram bentar, lalu brenti total. Akhirnya, terima nasib mencari bengkel yang entah dimana dan seberapa jauh.
Pasrah.
Bengkel jadi tujuan berikutnya. Yang ternyata butuh mengayuh lagi. Kali ini lebih jaouhhhh...
Singkat kata: bengkel tertuju, bejo ditangani, motor sehat lagi. 30 menit!
Dan, janji akhirnya tak terkejar. Tak ada pilihan, janji dibatalkan hingga 10 hari ke depan. 
Tak mengapa buat saya. Bukankah rencana seringkali terinterupsi hal-hal di luar rencana?
Hari itu, di tengah terik surya, Jakarta memberi penegasan lagi: bahwa ibu kota juga punya wajah ramah, yang selama ini mungkin hanya terpikir terjadi di mBantul, Solo, Sragen, Imogiri, atau kawasan udik lain sono. 
***
Sebenarnya, ini pengalaman kedua saya dengan kejadian yang mirip banget. Yang pertama dulu, kehabisan bensin beneran, lalu didorong pengendara motor dari belakang di kawasan Palmerah Barat. 
Waktu itu, meski saya terharu, saya tak terlalu heran. Si abang itu ternyata satu daerah dengan saya. Dia bilang, "Jogjane pundi, mas (yogyanya mana)?" Harap maklum, motor masih ber-plat "AB".
Tapi, kejadian kedua Palmerah-Benhil tadi itu, dilihat dari logatnya, rasanya Sunda teaaa....(baca: teaakk, bukan teh).
Saluuuttt...haturnuhun, kang. 
***
Di lain hari, menumpang metromini merah Palmerah-Kebayoran Lama pada sepotong siang. Waktu naik, penumpang hanya lima orang, termasuk saya. Bergerak 10 meter, si sopir memberi kode pada sang kernet: "kui mbokde kon melu sisan" (itu ibu-ibu tua ditawarin naik sekalian). 
Saat itu, seorang nenek yang kecil tapi tampak kuat menggendong bakulan anyaman bambu berjalan pelan di tepi jalan raya. 
"Ayoo melu mbokde," teriak di kernet.
"Ooo...kowe, tho," sahut si nenek sambil tertawa (tapi ga pake nginang segala, yaa).
Singkat kisah, bergerak sekitar 1 kilometer, si nenek harus turun. 
"Ïki duite (ini uangnya)," kata si nenek sembari menyodorkan uang Rp 2.000. 
"Halahh...pun mboten usah (sudahlah, tidak usah)," kata si sopir. 
"Wooo...yo, nuwun, yooo," respons si nenek lagi.
 Pyaaarrrr....
Senang rasanya, malah rasanya kok girang mendengar adegan singkat berbahasa jawa itu. Bukan karena basa jawanya, tapi kesannya.
Sepuluh tahun merayapi aspa, makadam, dan tanah Jakarta saat panas dan ujan, baru kali itu saya tahu ada "transaksi" sosial yang sebenarnya urusannya bisnis itu, saya dengar langsung.
Plonnggg....
Jakarta, bersama dua kisah mengayuh motor tadi, sebenarnya ada ruang saling berbagi dengan tulus. Saling menolong tanpa mengenal satu sama lain;
Memedulikan di tengah keangkuh-riuhan Jakarta; 
Dan, itu sangat indah dan unforgetable. 
Lebih dari itu, sangat inspiratif. 
Kalau saja banyak kisah dan kejadian seperti ini, mungkin Jakarta bukan lagi ibu kota yang sering diasosiasikan dengan ibu tiri yang jahat dan bengis. 
Mungkin memang ada bagian itu, tetapi mudah-mudahan terus tergerus dan menghilang. 
Poros Palmerah-Bendungan Hilir adalah jalur pengecualian kali itu: sungguh inspiratif, memorable, dan layak diserukan doa kejadian hal-hal yang sama dan berkembang. 
 
  

Selasa, 20 Mei 2014

Rp 3.000 dan Tanya Tak Terjawab

Hari Selasa, pukul 12.30 WIB.

Singgah di kerumunan pasar klithikan di dekat pintu keluar Stasiun Kebayoran Lama. Baru saja berhenti melangkah di depan sepetak lapak, belum lagi mata berhenti menyapu obyek, tiba-tiba seorang perempuan mengagetkan saya.

"Maaf, om, maaaaff....," kata dia sambil mengulurkan tangan. Wajahnya putih bersih berkacamata minus entah plus. Malah, wajahnya "bau-bau" indo gitu. (emang etnisitas bisa ketahuan dari baunya ya? hehehe...)

"Ya...," kata saya, sambil sedikit terhenyak kaget.

"Boleh minta uang tiga ribu saja," sambung dia to the point. Kulitnya putih bersih dengan rambut ikal yang tidak acak-acakan. Berbaju kaos putih, tertulis "HIGHSCOPE SCHOOL". (Saya tahu nama sekolah itu).

Saya diam sejenak. Lalu, "Hah? Bener mbak nggak punya uang?" lanjut saya lagi sembari memandang tak percaya pada sosoknya yang minta uang tiga tibu rupiah. "Masa nggak punya sih, mbak? Bener nih?" tanya saya lagi sambil agak menyunggingkan senyum. (entah, dia menilai saya meremehkannya atau tidak. Saya hanya bermaksud mengonfirmasi "apa dia bener nggak punya uang??)

"Bener om. Mau saya pakai ngangkot pulang ke Joglo," timpalnya cepat. Jarak lokasi kami dengan kawasan Joglo lebih dari 10 kilometer kira-kira.

Saya masih seperti tak percaya. Sosoknya secara umum, sembari menyangklong tas yang tak juga lusuh menurut saya, tak mencerminkan ia kesusahan. Usianya saya perkirakan 35-an tahun. Saya masih belum merespons.

"Saya juga belum bayar uang sewa rumah, om. Beneerr...," katanya lagi. Lhaaa....apa hubungannya dengan saya mbak. Saya nggak ikut nempatin juga. lho. Tapi, bukan itu poinnya.

Saat itu, di saku baju saya memang sudah saya siapkan uang Rp 3.000 sejak dari rumah! Pecahan dua ribuan dan dua keping lima ratusan. Maksudnya, untuk ongkos metromini 608 sampai kantor saya. Lha kok, ya, ini pas banget, ya. Apa dia tahu isi saku baju saya sehingga meminta pas Rp 3.000. Kalau bener begitu, untung saya nggak taruh uang seratus ribu di saku baju hehehee....(terlalu berimajinasi).

Singkat kisah, saya relakan uang Rp 3.000 di saku saya. Si mbak langsung ngacir, sampai saya lupa dia mengucap terima kasih atau tidak, karena pikiran saya sungguh "ternganga" dengan kejadian itu: si mbak bersih, penampilan bukan orang kesusahan, minta uang di tengah bolong di tengah keramaian Rp 3.000 pas, dan lain-lain. (don't judge a book by it's cover, bukhaaann....)

Tanya saya lagi, kenapa kok saya yang dimintain gitu, lho. Atau, mungkin saya orang kesekian yang ia sasar. Tak masalah buat saya, entah dibohongi atau apa. Saya ikhlas, rela, dan tak menyoal lagi. Hanya sisa tanya yang terus ada.

Usai singgah, saya bergegas ngangkot bus menuju kantor. Menunggu 10 menitan, bus akhirnya melesat. Tak lama, dari belakang bus dengan tujuan sama menyusul sambil menekan klakson panjang. Rupanya, si sopir itu merasa waktunya diambil bus yang saya tumpangi. Sopir bus saya pun tak terima. Lalu, terjadilah kejar mengejar di jalur transjakarta yang sebenarnya bukan jalurnya.

Untuk apa semua itu? Sampai penumpang pada gelisah. Dan, ongkos per penumpangnya Rp 3.000. Nhaaa??? Ini "hanya" demi uang Rp 3.000 lageeee....?! Kok pas lagi, tadi ada mbak-mbak minta uang tiga ribu, sekarang bus kebut-kebutan demi tiga ribuan lagi. Hadeuuhh....

Apapun yang terjadi siang terik itu, saya merenungkannya. Ini ibu kota negara yang statusnya  bersanding dengan ibu kota-ibu kota negara lain. Di tengah kecamuk riuh jakarta yang juga pusat niaga, jasa, dan finansial, "cuplikan" kisah yang saya alami adalah nyata.

Ini kisah tentang uang Rp 3.000 dan tanya-tanya kenapa yang saya tak juga memperoleh jawabnya. Kemana, siapa, dan ada apa sebenarnya dengan si mbak "indo" tadi? Lalu, sampai mana kebut-kebutan bus itu berakhir? Entahlahh.... 

   

   

Senin, 10 Februari 2014

“Vivere Pericoloso”

Jelang tengah malam, Kamis (7/2), sorangan wae meniti jalan pulang usai “mencangkul”, tersedot ingatan pada sosok mbak Meylan. Dari namanya, bisa ditebak dong. Ya, dia orang Batak hehehee...becanda. Dia keturunan Tionghoa.
Mbak Mey, mahasiswi Sastra Inggris di sebuah kampus di Semarang, itu, salah satu kakak senior saya, tapi beda jurusan. Kami dekat, karena aktif dalam kelompok persekutuan mahasiswa, gitu. Biasanya, usai nyanyi-nyanyi dan dengerin khotbah setiap Jumat, kami berkumpul di panggung di halaman kampus.
Terkadang, kami bertukar pikiran yang sok sok serius (tapi, seringan dia yang nukerin, sayanya diem aja: manggut-manggut hahahaa..) Serius itu, dalam arti merefleksi hidup sosial kami, nggak melulu yang rohani (tapi ini perlu juga dan kami lakukan).
Saya suka takjub dengan mbak Mey ini, sungguh!
Begini. Bukan bermaksud SARA, lho ya. Tapi, realita sosial dan kultural tengah tahun 1990-an itu, di dalam kampus negeri, yang namanya mahasiswa keturunan Tionghoa sangat amat langka sekali banget. Mendekati punah malah (Critically Endangered –kalau dalam perspektif ilmu biologi).
Lebih takjub lagi, mbak Mey ini aktif di dunia pers kampus fakultas sastra, yang saat itu menjadi “sarangnya” dedengkot-dedengkot aktivis PRD, SMID, dan ideolog-ideolog yang dikategorikan beraliran kiri. Kawan-kawan semacam itu, di tempat kami, kuliah hanyalah “pekerjaan” sampingan. Yang utama, kalau nggak diskusi-berteater-bikin majalah-nongkrong, ya hahahihi di kampus dengan tampilan khas: acak-acakan dan semi kumel hehehe (tapi nggak semua sih).
Tapi, kalau tiba waktunya urusan demo, antusiasnya bukan maen...ngalah-ngalahin anak-anak zaman sekarang yang desek-desekan antre tiket nonton konser JKT48, Coboy Junior, atau One Direction. Urusan kuliah? Bisa diwakilkan. Begitulah kira-kira.
Nah, dalam habitat seperti itu mbak Mey ini menjadi anomali. Dia aktif. Tapi, lebih ke diskusi dan urusan konten majalahnya. Bahkan, ia –yang sangat pemalu itu- pernah menjadi koordinator/acara besar yang dihelat majalah HW, milik kampus kami. Dan, kuliahnya beres res res....
Sungguh tak biasa. Saya salut sampai koprol-koprol kalau boleh. Saya sempat tanya, kenapa kok bisa ngejalanin itu semua? Saya lupa persis jawabannya. Tapi, kira-kira, ia mengatakan, bahwa semua tergantung kita yang ngejalanin. Yang terpenting, miliki tujuan dan bekal yang jelas atas kegiatan itu. Jangan sekedar ikut-ikutan, apalagi sok-sok an! Bukankah ikan laut tak lantas menjadi asin di lautan garam? Bagi saya, kakak ini hidup nyerempet-nyerempet bahaya alias vivere pericoloso –sok meminjam Bung Karno.
Bagaimana ga bahaya. Kalau ga kuat, bisa terseret arus deras yang berujung pada ketidakjelasan masa depan. Terjebak dalam aktivitas semata, tanpa tujuan akhir yang terukur.
Dari mbak Mey juga saya tangkap tips membaca buku. Ada banyak buku, mulai filsafat hingga ideologi-ideologi yang butuh disaring saat membacanya. Persoalannya, kadang diterima mentah-mentah oleh siapa saja yang sedang mencari jati diri, seperti halnya bahaya memahami tafsir ajaran-ajaran keagamaan. “Kalau membaca, kuasai dirimu. Bukan buku yang menguasai dirimu seluruhnya,” kata dia. (mbak Mey, ingatkah dikau?)    
Oya, bukan hal-hal serius saja yang kami obrolkan. Terkadang konyol juga. Pernah suatu siang usai nyanyi-nyanyi Jumat, dia berbisik:
 “Eh, Sit, tahu nggak. Tadi aku keliru masukin persembahan. Tak kiro lima ratus, ternyata lima ribu,” kata dia sambil nyengir kuda, mencuat gigi kelincinya.
“Hah? Apa mau diambil lagi, mbak? Gak apa-apa dituker,” kata saya spontan. Itu mungkin banget. Soalnya, kami-kami juga yang mengelolanya.
“Ngawur. Ya, biarin aja. Kebacut,” kata dia. Lalu, kami tertawa. Hahahahaaa....(lima ribu rupiah pada masa itu (tengah tahun 1990-an) tergolong besar untuk ukuran mahasiswa di daerah). Bisa buat makan beberapa kali. Oya, si kakak ini tinggal bersama om-nya yang pengusaha. Istilah Jakartanya: tajir, bro and sist! 
Di lain waktu, kakak yang tak pernah absen mengenakan bawahan rok, mengendara motor Honda Grand-nya (sering ngebut malah) itu- bercerita soal hati (ini bukan rahasia, kok, wkwkwwkkaa). Mbak Mey ini –sudah Tionghoa, nasrani pula- didekati salah satu pria sesama pengelola majalah kampus. Sebut saja Tupai hahahaa.... Persoalannya, ini cowok, sudah muslim, jawa pula (rasanya malah luar jawa). Selain itu, mbak Mey pernah bilang kalau ia mempertimbangkan hidup selibat (tak menikah).
“Lha, kok ngeyel ndeketin mbak Mey?” tanya saya.
“Tahu nggak, dia bilang, katanya ia masih melihat harapan,” kata mbak Mey.
Dasar tuh cowok anak sastra Indonesia, hidup dengan diksi-diksi puisi hehehee.... 
Dus, saya kaget.
“Lha, bener gitu, mbak? Ada harapan?” tanyaku lagi.
Kali ini, saya lupa mimik wajah si kakak. Seingatku, si kakak yang ajaib itu diem aja. (mbak Mey, jadinya sekarang gimanaaa??? –saya tak berkontak lagi sejak dia lulus tahun 1998-1999 dan denger-denger lanjut belajar Sosiologi Pedesaan di UGM)
Harapan, ya, harapan. Kata itu menancap di kepala saya hingga kini hampir 20 tahun! Bahkan, untuk sesuatu yang hampir pasti enggak saja, masih terus dikejar. Sekalipun harapan itu barangkali sangat subyektif, searah saja; bukan melibatkan dua pihak. Tapi, ini soal isi hati, bung. Asmara! Lemas sayaa....
Nah, menyambung soal harapan yang sepihak dan asmara tadi, ada kisah beda lagi. Ini bukan tentang mbak Mey, tapi kawan lain lagi (yang ini kudu secret).
Si pejantan ini memilih menunggu seseorang –bunga hatinya- yang milik orang lain. Ia sirami hatinya setiap waktu dengan harapan. Ia pompa juga jantungnya dengan rapalan-rapalan harapan yang sama, bahwa suatu waktu akan tiba harinya ia memiliki buah hati itu dalam arti sebenar-benarnya. Sesungguhnya. Mesti, ia hanya bisa menunggu takdir (itupun kalau memang ada).
Wah, saya linglung. Bisa, ya, begitu? Akhirnya tersadar juga, bahwa tak ada yang tak mungkin soal itu. Misteri akan selalu menarik dan menjadi semacam adrenalin hingga ia menjelma menjadi sebuah kebenaran. Saya mengangguk-angguk saja. Bahkan, saya hormat dengan ketekunannya meniti-sirami harapan, meski mungkin subyektif. Kata saya, nyerempet-nyerempet bahaya juga itu rasa. Vivere pericoloso.
Dan,
Malam berganti pagi,
Yang ada hanya gelap,
Deru menjadi sunyi,
Ada tanya enggan lenyap: tak terjawa(p)

Jumat, 07 Februari 2014

Tuhan Urus Riswanto

Riswanto 

Ini dia sahabat jiwa dan jarak jauh saya. Bertemu pertama tahun 2006 di Boven Digoel, ketika singgah sesaat di kantor Wahana Visi Indonesia untuk sebuah perjalanan khusus. Saat itu, saya  mendengar kiprahnya sebagai fasilitator lapangan untuk kesehatan dan pendidikan. Namun, karena hanya sesaat, perlu memastikan komitmennya itu asli.
Tujuh tahun lewat, Agustus 2013 lalu, saya yang sudah menggebu-nggebu, akhirnya bersua lagi. Di sebuah hotel kecil berpenerangan remang pada terasnya, kami bertukar kabar secara langsung. Ia masih sama: kecil dan ramah dengan logat Papwa alias Papua campur Jawa.
Yup, mas Kris (47 tahun) ini orang asli Magelang, Jawa Tengah. Namun, separuh hidupnya ia curahkan di Tanah Papua sebagai staf WVI. Ia bukan misionaris atau pendakwah, tapi ia sudah berpindah dua kali di Papua sebelum akhirnya ditempatkan dan nyangkut di Digoel, kabupaten pemekaran dari Merauke. 
Jejak panggilannya di tanah rantau sebenarnya terlihat sejak ia memutuskan keluar dari pekerjaan idaman buanyak orang: PNS. Ya, ia sebelumnya adalah PNS di sebuah sekolah di Magelang sana. Namun, tahun 1990 ia memutuskan keluar dan memilih bergabung WVI untuk penempatan Papua. "Saya suka tantangan," kata dia. Ediuunn....  
          Salah satu kiprah terkini, mendampingi warga Kampung Ogenetan, Distrik Iniyandit, sekitar 2 jam perjalanan darat dari ibu kota Digoel, Tanah Merah. Bersama bapak kepala distrik (kecamatan), Riswanto mendirikan koperasi yang diberi nama Nonggup, yang berarti kebersamaan. Tak terbayang di kepala saya sebelumnya: warga asli di pedalaman Papua bisa berorganisasi. Sungguh sesuatu yang baru dan menyegarkan.
Keberadaan koperasi itu menjadi solusi ketergantungan warga terhadap tengkulak pembeli karet, sekaligus menyediakan bahan-bahan kebutuhan warga, mulai dari garam hingga baju-celana. Warga pun tak perlu lagi berjalan kaki berjam-jam menuju kampung sebelah untuk membeli kebutuhan harian mereka.
Antusiasme dan semangat Ris tak perlu diragukan. Ia memilih keluar dari WVI per tahun 2014 menyusul habisnya masa kerja layanan WVI di Digoel. Sebenarnya, ia bisa bergeser ke daerah lain. Tapi, tekadnya bulat: bertahan di sana.
 
 Lalu, bagaimana ia memperoleh penghasilan? "Ah, Tuhan pasti sediakan itu buat saya," kata ayah tiga anak yang semuanya tinggal di Magelang bersama istri -yang menemani orang tua Ris. 
Saya sungguh terheran-heran karenanya. Mereka berpisah jauh, ribuan kilometer. Lalu, bagaimana pulang kampungnya? Dulu, ketika masih di WVI, setidaknya setahun dua kali ia pulang kampung sekaligus pertemuan staf WVI di Jawa. Kini? "Ah, bisa saja kapan-kapan."
Benar saja, awal Januari 2014 kami berkontak lagi. Saat itu, Ris bersama beberapa anggota koperasi diundang paparan di Bogor. Ia gunakan kesempatan itu untuk menengok anak, istri, dan orangtuanya.
Lalu, sebenarnya apa alasan bertahan di Ogen?"Saya ingin dampingi warga Ogenetan sampai koperasinya mantab. Saya bisa tinggal di mana saja di sini," kata dia, tersenyum. Saking dekatnya, ia dipanggil paman atau "amo" oleh warga lokal. Ia disambut baik dan diterima terbuka oleh papa-papa dan mama-mama di sana. Suaranya didengar warga lokal yang jauh dari sentuhan birokrasi. Warga yang rindu ketulusan para pendamping program dan pendatang. 
 
 Salah satu teman dari Jakarta yang berkunjung ke Digoel, berkali-kali bertanya tentang "kenapa", "mengapa", "bagaimana", dan "apa" sehingga mau bertahan tanpa kejelasan masa depan nun di tanah orang asing sana. "Ah, nanti Tuhan yang urus. Kalau kita urus diri kita sendiri, Tuhan tak akan urus kita. Tapi, kalau kita urus orang lain, Tuhan akan urus kita dan keluarga," kata dia. Begitu terus setiap kali ditanya. Teman saya pun berulang geleng-geleng kepala. 
"Orang itu gila," kata si bapak, ketika kami mengobrolkan mas Ris. Menurut saya, mungkin gila bagi banyak orang, tapi tidak bagi mereka yang mempercayai penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Dan, mas Ris sudah mengalami itu secara langsung. 
  Di Ogenetan, ia masih punya mimpi mendampingi warga membuat pembibitan karet dan membuat semacam taman rekreasi lokal.   
Mudah-mudahan, seperti bertahun-tahun sebelumnya, ia ditolong mengambil jalan yang benar di setiap persimpangan demi kesejahteraan warga di tingkat lokal. Dan, tak terjebak dalam "goro-goro" perpolitikan lokal yang kini marak.
Ya, Tuhan urus Riswanto. Aminn....
 
Biji karet di kebun karet Ogenetan yang ditanam sejak era kolonial

Pekebun karet sedang mengolah karet menjadi lembaran-lemabaran sebelum dijual ke pabrik. Mereka eksis, salah satunya karena kebradaan koeparasi Nonggup.

Mas Ris (berjaket hitam, tengah) bersama pengurus koperasi, warga Ogenetan, staf WVI, dan rombongan dari Jakarta. Lokasi di muka rumah koperasi dengan latar belakang kebun karet (Agustus 2013).
  

  
 

Rabu, 05 Februari 2014

Bung Karno Di Kampung Wet

Akhir Agustus 2013. 
Berdiri menghadap tegak monumen di TMP Boven Digoel di Kampung Wet terasa berbeda. Bukan karena cerita mistis. Bukan pula sok nasionalis. Apalagi, merasa sebagai generasi penerus bangsa yang sedang berjanji sehidup semati membela negeri (jiaahhh....). Bukannn....

Agustus itu adalah kali kedua saya berdiri di bawah monumen yang sudah kusam itu. Pertama kali, saya ada di sana tahun 2006 dalam sebuah perjalanan tugas. Saat itu, monumen tersebut tak lebih saya pandang sebagai benda mati, hiasan wajib di semua taman makam pahlawan seperti layaknya TMP di seantero negeri. Itu saja. 
Oya, melenceng dikit. Waktu itu, saya yang pergi bersama teman fotografer, Priyombodo (nama sebenarnya hehehehee....), menemui "insiden" kecil di pemakaman itu. Si fotografer menenteng kamera bertele gede, ketika mendatangi anak-anak asli Boven yang sedang bermain. Tak ayal, mereka berhamburan lari menghilang, meloncat pagar. Tak lama, dua atau tiga bapak menuju ke kami sambil membawa parang. Kami sih santai saja, kan nggak ngapa-ngapain juga.
Eee...ternyata si bocah-bocah gundul tadi ngadu ke papa-papa mereka, katanya hendak kami culik! (Busyeett...kurang kerjaan apa. Di Jakarta lebih buanyak kalau mo nyulik-nyulik begitoouuww...) 
Syukur bin big thanks to God, pemandu kami, tokoh pemuda lokal datang tepat waktu. Kayak jagoan-jagoan film laga yang datang saat sohibnya yang tak berdaya kritis menghadapi maut. 
Setelah mereka saling ba-bi-bu pakai bahasa lokal, akhirnya kami terbebas dari tudingan "perbuatan tidak menyenangkan". 

Kembali ke monumen.
Ya, monumen itu bukanlah bangunan biasa. Keberadaannya spesial. Bahkan, bisa disebut sangat spesial. Monumen itu sepotong sejarah integrasi Papua ke Tanah Air Indonesia. Monumen dibangun atas perintah langsung Bung Karno, sang proklamator.
Informasi itu saya peroleh langsung dari perupa senior Edhi Sunarso (80 tahun/2013), ketika bertandang untuk sebuah keperluan lain. Di ruang tamu rumahnya di Yogyakarta tahun 2010 lalu, perupa yang merancang monumen "Selamat Datang" di Bundaran HI, Jakarta, itu, membuka kisah. Sungguh mengagetkan. "Monumen di TMP Digoel itu saya yang bikin." (Jedheerrr...saya seperti tersambar kilat). 
Jadii..jad..jad..jadii...(eng ing enngg...lebay dikit!). Jadi, monumen dengan sosok manusia hitam kurus kering memegang senapan berbahan besi cembung itu buatan beliau. Saya duduk di depan perupa pembuatnya, nun di sana. Lebih kaget lagi, mbah Edhi itu belum pernah melihat langsung hasil karyanya. Singkat cerita, lain waktu, saya singgah ke rumahnya lagi, membawa beberapa lembar foto bergambar monumen tadi. 
Kata mbah Edhi lagi, sosok manusia itu terbangun dari beberapa plat besi (entah tembaga atau kuningan saya lupa) dan dicetak di Jakarta kalau nggak Yogyakarta (maaf tahunnya saya lupa--kalau gak salah 1960-an)). Lalu, diangkut menggunakan pesawat khusus menuju Boven Digoel. Saya sungguh-sungguh takjub jub jub!
Katanya lagi, plat-plat itu diusung berjalan kaki dari bandara Tanah Merah menuju lokasi TMP di Kampung Wet, yang seingat saya berjarak sekitar 4 kilometer (maaf kalau salah). 

Bagi saya atau mungkin anda, atau siapa lagi yang pernah ke Boven Digoel dan singgah ke TMP yang agak pelosok itu, barangkali terheran juga. Buat apa ada monumen dan TMP di Digoel. Apa yang hendak digapai? Kenapa? Mengapa? dll.
Barangkali, benar juga yang disampaikan mbah Edhi. Bung Karno itu berpikir dan bertindak melampaui zamannya. Apa yang dia lakukan, dalam beberapa hal, seringkali tidak cocok jika ditilik pada zamannya. Namun, akhirnya terjawab beberapa masa kemudian. 
Untuk monumen dan TMP itu, barangkali juga, lebih kuat timbangan politisnya. Ada maksud khusus yang hendak didapat dari keberadaannya. Kalau tidak, buat apa jauh-jauh terbang hanya mengangkut plat-plat logam ribuan kilometer pada masa ketika semua serba sulit? Untuk apa pula mengerahkan tenaga mengangkut plat-plat itu berjalan kaki? 
Tapi, apa maksudnya? Yaaa, mungkin ini terkait dengan integrasi tadi. Jiwa zaman yang paling pas barangkali memang itu. 

Usai mendengar langsung kisah dari mbah Edhi di siang hujan deras itu, kembali hati saya berdesir-desir akan Boven Digoel. Mungkin levelnya super duper obsessed. Maka, ajakan berkunjung ke Digoel tengah tahun 2013 itu sungguh sangat sulit saya lepas-relakan untuk orang lain. 
      Dan, Agustus 2013 lalu, berdiri mematung di muka monumen tegak itu sungguh jauh berbeda rasanya dibanding tahun 2006. Bila teman-teman lain seperti tak tertarik dengannya -seperti saya tahun 2006 silam- perasaan saya saat itu bergemuruh dalam sikap mematung.
Saya "melihat" dan "merasakan" Bung Karno di sana -ketika sore mendung-, meski tak lama. 
    
Masih ada banyak kisah lain di Digoel.   



   
 

Senin, 03 Februari 2014

Ziarah Batin ke Ogenetan

Boven Digoel. 
Nama daerah ini saya kenal ketika saya masih unyu, ketika SD di kota gudeg sono, Yogyes. Daerahnya disebut-sebut sangat terpencil, serba sulit, diintai malaria, di tengah hutan lebat, sungai penuh buaya, dll. Kini, dua kali sudah (2006 dan 2013) saya menginjakkan kaki di sana: kota bersejarah, dimana "bapak koperasi" M Hatta dan "bung kecil" Sjahrir, serta Sayuti Melik pernah diasingkan. Dan, bayangan serba sulit dan mengerikan itu tak benar adanya. Bahwa masih menghias diri sebagai kota, iya!

Kembali pada kunjungan ke-2, sungguh membuat hati berdesir kencang, melebihi desiran lembut saat hendak jumpa bunga hati (sungguhh...). Curcol dikit, saya -yang biasanya tak pernah meminta tugas- kali ini sampai memberanikan diri meminta. "Saya saja yang berangkat (heheheeee...)." Dan, gayung bersambut, bos saya dengan berbaik hati (seperti biasa sih), merelakan kepergian saya dengan berat hati (lebay!). 

Kali ini, saya pergi bersama Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) -saya kenal organisasi ini sejak saya masih menggerogoti bangku kuliah (koyo tikus hihihihii). Saya hormat betul dengan organisasi yang fokus pada pendidikan dan kesehatan anak, remaja, dan ibu-ibu itu. Singkat cerita, tibalah saya di Merauke, kota yang berajarak belasan jam dari Boven Digoel menggunakan mobil bergardan ganda (siap-siap remuk bodi diayun lubang jalanan, apalagi bila musim hujan). Saya siap betul dengan risiko itu, karena ada misi pribadi (huahahaaaa....sstt!) 

Perjalanan kali ini tergolong nyaman, meski harus berbagi bangku dengan teman-teman perjalanan di dalam mobil Ford Everest! (Edan nggak man, mobil mewah di kota besar, di Papua cuma jadi "omprengan" --- makanya, jangan belagu kik kik kik...). Kira-kira, 11 jam perjalanan kami menembus taman nasional Wasur, hutan skunder, dan kebun sawit.

Saya hendak berbagi kisah tentang sebuah kampung di Distrik Iniyandit, yang berjarak 2 jam perjalanan darat (kalau lancar) dari Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel. Namanya, kampung Ogenetan. Kampung ini ada di antara kebun karet sejak zaman Belanda. Kini, dihuni sekitar 300-an jiwa. 

Berpuluh tahun eksis, kampung ini jarang disinggahi pejabat, atau tamu-tamu dari ibu kota negara: Jakarta. Jadi, jangan heran kalau kami disambut dengan tari-tarian khas yang mengharukan, berikut nyanyian mama-mama plus penerjemah penduduk lokal (lihat foto dan video). Di sana, kami sebenarnya melihat sebuah koperasi (Nonggup namanya, yang artinya kebersamaan). 

Whattt? Are you killing me? (kidding kaleee). Jauh-jauh ke pedalaman hanya melihat koperasi? (apaaaaa...??)  Di kantor gue juga ada, malah lebih majouw! Tunggu dulu, kawans. Ini jauh dari bayangan atau isi benak-kepala orang-orang kota. Apalagi Jakarta yang sok kosmopolit, moderen, maju, bla bla bla...

     Ini sebuah ziarah!!

Para mama bertestimoni. Mereka tak perlu lagi berjalan kaki menyisir tepian hutan selama 3-4 jam jalan kaki ke kampung terdekat. Hanya untuk membeli kebutuhan dapur, seperti minyak goreng, beras, garam, dan aneka jenis kebutuhan lain. Semua kebutuhan mereka tercukupkan di koperasi yang menempati bangunan kayu rumah dinas guru yang ditinggal pergi penghuninya itu.

Dulu, mama-mama atau kalau beruntung didampingi suaminya, harus pergi subuh pulang gelap sambil membawa anak bungsu mereka. Ke kampung sebelah itu, mereka membawa kangkung atau daun lokal atau karet mentah untuk dijual, lalu uangnya untuk membelu kebutuhan rumah. Berpuluh tahun seperti itu! 
Bayangkan, kalau itu keluarga kita: ibu, mama, mak, bunda, atau simbok kita yang melakukan ritual itu? Betapa berharganya koperasi itu, tak peduli bentuk bangunan fisiknya seperti apa. Ini soal perkembangan sebuah kampung menuju mandiri. Sinyal hp? please, deh!

Secara langsung dan telak, koperasi memudahkan warga. Kini, waktu yang dulu digunakan mama-mama untuk menempuh perjalanan jauh, bisa dimanfaatkan menemani anak-anak bermain atau belajar. Ada waktu lebih yang berkualitas. 
Koperasi juga menampung hasil dari kebun karet untuk dijual ke perusahaan dengan harga bersaing, Koperasi juga membuat anggota lebih kompak. Mereka memantau harga dan memastikan memiliki daya tawar lebih. Dampak lanjutannya, tengkulak-tengkulak karet yang selama ini mengatur harga semaunya, tak lagi berkeliaran di kampung itu. Pergi, lenyap entah kemana (cadasss....)

Koperasi itu juga menjadi tempat belajar warga dari kampung atau distrik lain. Bahkan, Nonggup juga diundang paparan di Makassar, hingga Bogor dan Jakarta. "Sudah beberapa kali kami ke sana," kata mas Riswanto, salah satu penggerak koperasi. Ayah tiga anak ini dulu staf lapangan WVI, yang kemudian keluar demi keberlanjutan Nonggup, setelah WVI tak lagi berada di Digoel. Mas Ris ini sahabat fisik dan jiwa saya. Kasihnya nyata liar biasa. Anak istrinya tinggal di Magelang, menemani orangtua mas Ris yang sudah sepuh (tua). 

So, pengalaman ini sungguh sangat menggugah. Sangat luarbiasa untuk menggantikan ungkapan saya yang speechless. Sekali lagi, ini ziarah. Ini melebihi khotbah kehidupan di mimbar-mimbar. 
Hormat bagi orang-orang dan lembaga yang dengan tekun dan sabar hati mendampingi warga pedalaman untuk menuju tingkat kehidupan yang lebih baik. Ya, mendampingi! Bukan instruksi, apalagi tipu-tipu.   
Kalau sudah begini, tiada arti penat belasan jam perjalanan. Tiada lagi keluh kesusahan. Semua terbayar: lunas. Bahkan, tersisa untuk jiwa yang kering. Dan, masih banyak cerita yang bisa saya bagikan di esok atau kemudian hari. 

Entah kenapa, saya yakin suatu hari, kan, sampai di sana lagi. Itu pula yang saya yakini tahun 2006, ketika pertama kali singgah di Boven Digoel, yang kini terwujud. Semoga. 
 



Sambutan tari khas dengan perangkat tari yang "apa adanya", tetapi pada saat yang sama menunjukkan bahwa mereka memberikan segala yang mereka punya. Luar biasaaa....



 Gambar di bawah ini berlatar belakang rumah telepon sisa-sisa program Desa Berdering Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ada teleponnya, tapi langsung mati setelah diresmikan tahun 2012 lalu. Berkali-kali diurus hingga kabupaten, tak ada perubahan.  
Karet merupakan komoditi warisan lama yang menjadi andalan warga. Kini, dengan pendampingan, warga memiliki daya tawar dengan pembeli. Tengkulak-tengkulak pun hilang lenyap.  Dengan harga bersaing, warga pun giat menderes karet dan mengolahnya, sebelum dijual ke perwakilan pabrik dengan harga hingga Rp 20.000 per kilogram. Sebelumnya, hanya Rp 5.000 per kg.



 Koperasi Nonggup dari dalam. Sangat sederhana bila dibandingkan koperasi-koperasi di kota lain. Tapi, Nonggup memiliki dampak nyata yang sangat menolong warga Ogenetan. Dari sinilah awal mula masa depan kampung tanpa sinyal telepon itu.

Numpang narsis di halaman koperasi dan tepi hutan karet di Ogenetan. Mudah-mudahan majulah terus saudara-saudaraku nun di ujung sana. Aminnnn.....
 VIDEO PENYAMBUTAN 



Dua bocah generasi Ogenetan.

Minggu, 02 Februari 2014

Terima Kasih Babe "Om"

Setidaknya, lima tahun sudah saya mengenal bapak tua satu ini (maaf sengaja no picture - secret hihhii). Saya memanggilnya "om". Tapi, orang-orang sekitarnya memanggil dia "babe". 
Secara fisik, si om ini keturunan Tionghoa. Tepatnya, dari Padang, Sumatera Barat. Secara karir, ia pensiunan pejabat penting di sebuah perusahaan farmasi berjejaring global. Namun, berkenalan lima tahun, tak pernah ia menyebut-nyebut jabatan persisnya. Saya justru tahu dari berkas-berkas yang terselip di tumpukan barang-barang unik di kiosnya, di bilangan Mayestik, Jakarta Selatan.
Ia lebih suka berbagi kisah bagaimana menjaga kesehatan dengan tips-tips sederhana. Banyak minum air putih, banyakin buah, senam ringan pagi usai bangun tidur, dan olahraga ringan (yaelah, itu juga saya tahu, om hehehee..anyway, thanks a lot)

Si om ini bertahun-tahun menjalankan bisnis di kios barang-barang antik (versinya dia). Koleksi yang ia punya selama tugas ke berbagai daerah dan negara. Bener-bener banyak dan aneh-aneh. Dan, sebagian "diwariskan" ke saya. (tentu tidak gratis. jlebh)
Namun, dengan berat hati, saya harus melepas "kepergiannya". Kiosnya tutup untuk selama-lamanya. Si om, sih, tetap sehat di usianya. "Sewanya ketinggian," bisiknya suatu ketika. Ia resmi tutup akhir Januari 2014. 

Namun, ini awal ceritanya...

Sebenarnya, bisnis kecil bernilai besar itu hanya sarana. Ya, sarana si om untuk gaul. Sungguh, bener-bener gaul dengan para pedagang barang-barang seken, antik, lama yang -mungkin pernah anda lihat di seberang Pasar Rumput. Kios lamanya digusur bersama kios-kios lain untuk digantikan bangunan ruko atau entahlah, masih dikerjain, tuh.
Setiap hari, biasanya si om datang jam 11.00, kerjaannya buka toko, trus ditinggal main catur dengan para pedagang lapak. Kadang serius, kadang cekakak-cekikik, kadang terbahak-bahak. "Di rumah aja ngapain, kan?" kata dia. 

Yang saya salut, si om ini satu-satunya kaum Tionghoa di antara "lautan" pedagang dari berbagai suku. Ia tak canggung. Santai saja. Dan, orang-orang di sekitarnya hormat padanya. Gelar "babe" setidaknya saya pahami sebagai wujud kedekatan sekaligus hormat. Tapi, tetap saja saya panggil dia, om. (padahal, umurnya hampir dua kali lipat saya)

Dari sesama pedagang pula saya tahu kisah si om nyentrik ini. "Babe suka bagi-bagi rejeki ke kita-kita," kata salah satu pedagang. "Kita-kita" yang dimaksud, ya, sesama pedagang maupun orang-orang yang suka nongkrong di situ, termasuk pengemis! (bingung saya. ini sesama pedagang malah bagi-bagi rejeki. piye tho?)
Tapi, itulah adanya. Bahkan, kalau pas lebaran atau natal (si om itu nasrani), si om bagi-bagi kue atau makanan ringan juga. Bahkan lagi, saya pernah lihat sendiri dia bagi-bagi "angpao". Tapi, tak pernah sekalipun ia sesumbar soal itu. Terkunci rapat. Salute!!

Seperti om bilang sendiri, ia sebenarnya mencari teman dalam bisnisnya itu, meskipun mencari cuan (untung) juga. Secara materi, sebenarnya lebih dari cukup. Dua anaknya sudah mandiri, salah satunya bekerja di salah organisasi PBB yang bermarkas di Indonesia. Si om pun tinggal di perumahan kelas premium, bahkan mungkin pertamax atau malah v-power (halah).

Kini, "bisnisnya" mungkin memang sudah berakhir. Tapi, tidak aktivitasnya. Ia tetap saja rutin mendatangi koleganya untuk bermain catur dan hahahihi....
Sebelum akhirnya menutup kiosnya, ia sempat mengobral barang-barang uniknya. Bahkan, sebagian dibagi-bagikan ke pedagang lain yang ia tahu bermodal cekak. Saya kenal betul apa yang ada di kios-kiosnya yang lalu tercerai-berai ke lapak-lapak sederhana. 
Sekali lagi, mungkin saja kami tak berbisnis dan bersua serutin dulu. Tapi, si om adalah "guru" sekaligus "model" saya. Ia guru yang mengajar kerendahatian dan melihat sesama sebagai sesama. Tak ada sekat yang membatasi pergaulan. Jadilah berkat atau barokah bagi sesama juga. Berbisnislah dengan hati, bukan hanya otak dan demi cuan semata.
Si om adalah model, betapa perbedaan bukanlah batas, bukan pemisah. Betapa rukunnya kelompok masyarakat bila perbedaan yang ada tidak dijadikan pembeda. Alami saja.  

Terima kasih, om, babe....        
    

Belajar dari Pujiono


Namanya Pujiono, umurnya 27 tahun.
Ngakunya dari Cilacap, Jawa Tengah. Peserta audisi Indonesian Idol 2014
itu seorang pengamen. Tapi, ia istimewa. Bukan karena penampilannya
secara fisik, tetapi lagu yang ia ciptakan sendiri (setidaknya, itu
pengakuannya). Judulnya "Manisnya Negeriku".
Syair lagunya sederhana, tapi pesannya sungguh kontekstual dan bernas.
Negeri
ini banyak suku dan budaya, serta agama. Ia ingatkan Pancasila dan
Bhinekka Tunggal Ika. Negeri ini juga kaya sumber daya alamnya, sehingga
patutlah dijaga. Ia sebut pula UUD 1945. "Jangan sampai terpecah pihak
lainnya atau bangsa lainnya". Itu syair Pujiono. Lagi-lagi, ia "hanya"
pengamen jalanan.
Faktanya,
apa yang dinyanyikan Pujiono adalah kegetiran. Suku-suku berperang.
Agama jadi kendaraan untuk membunuh sesama. Sumber daya alam dikuasai
asing atau anak bangsa yang keblinger. 
Pujiono bukanlah Iwan Fals atau Doel Sumbang, yang jauh lebih ngetop-tersohor. 
Tapi,
ini bukan soal ngetop atau tersohornya. Kehadirannya memberi wajah
lain, bukan karena secara fisik ia disebut juri tidak menjual dari sisi tayangan tv
yang serba polesan. 
Tapi, "wajah"
Pujiono adalah "wajah" yang seharusnya dimiliki para politisi,
akademisi, birokrat, teknokrat, budayawan, dan petinggi negeri. Negeri
ini butuh kegelisahan berat yang disuarakan Pujiono. 
Nyanyian
Pujiono sederhana, tapi enak didengar. Syairnya juga enak dinyanyikan,
tapi getir bila diperhatikan sungguh-sungguh. Inilah ironi negeri yang
dengan cerdas dan semi jenaka diangkat Pujiono dengan siulan khasnya.
Layaklah kiranya berterimakasih pada dia. 
   

Presiden Rakyat atau Presiden Duit

Namanya Said. Titelnya haji. Usianya hampir 70 tahun dengan pendidikan yang tak terlalu jelas di Madura sana.
Yang jelas, ia juragan mebel seken sekaligus reparator yang menempati lahan sewa di kawasan Ciputat, Jaksel. 
Suatu sore gerimis, tiba-tiba ia yang berbaju koko plus sarung (abis mandi kayaknya hehehe...)  mengajak saya yang sedang singgah, berdiskusi. Berat, soal presiden! 
Berpuluh kali singgah, baru kali ini saya dengar nyebut-nyebut presiden segala.
Boleh juga nih, pikir saya. Biasanya, dia mah ngobrolin kayu-harga-jual-beli doang.
"Kita ini diberi yang baik, milihnya yang jelek," buka pria berjenggot tanggung itu.
"Weittss....apa maksudnya, pak Haji?" sahut saya. Saya siap-siap telinga aja.
"Lha, iya, tho. Dulu ada Gus Dur, diberhentikan. Katanya enggak bener. Sekarang sudah mati (beneran, dia bilang begitu), kuburannya enggak pernah sepi. Itu artinya dia dicintai rakyatnya," kata dia lagi. "Gus Dur itu, kan, keturunan Wali." (saya ngangguk aja, secara dia orang Madura. Yang begituan ada dalam darah dagingnya, tho)
"Oooo...begitu, ya," kataku lagi. "Terus?"
"Lha, yang sekarang ini, semua diambilin. Keluarganya ikut maling (saya nggak nambahin dan nggak sensor. Aslinya bilang begitu, yang ia simpulkan dari simpang siur pemberitaan). Apalagi namanya kalau bukan presiden duit," katanya lagi. (waduh, gaswat nih orang ngomongnya)
Semua, kata dia lagi, ikut-ikutan maling. Korupsi dimana-mana. Yang korupsi gede-gedean didiemin aja kabur ke luar negeri. Yang kecil, puluhan atau seratus juta, dikejar-kejar. Bahkan, ambil ayam saja diadili serius. "Pedagang kecil di kereta sekarang juga nggak boleh, kan?" kata dia lagi. (lha, kok sampe pedagang asongan segala nih diskusi?? tapi, biarlah)
"Tapi, pak Haji, biarpun sejuta, kalau mencuri, ya mencuri, kan?" umpanku.
Langsung disambar, "Benar, memang. Tapi, yang gede jangan didiamkan saja. Bagus itu, ada yang dari cina ditangkap dibawa ke sini untuk diperiksa (Anggoro Widjojo, maksudnya)," kata dia lagi. 
   
Ia, lalu menyorot aksi-aksi Jokowi, yang ia tahu dari tv, mau terjun ngunjungi orang banjir. Bahkan, sebelumnya masuk got-got atau saluran air di Jakarta. "Gajinya di Solo juga nggak diambil katanya," kata dia. (Iya, kali pak Haji). "Dia juga mau nerima orang-orang biasa. Mau makan di warteg sama bu Mega. Itu yang disukai rakyat." (update dari tv nih pasti).
"Kita ini butuh presiden rakyat, bukan presiden duit," tambah dia. 
"Pilih yang bagus, ya, jangan yang jelek," kata saya. "Bener, itu. Benerr...saya juga pikir begitu," kata pak Haji. (Kan, situ, yang bilang di awal tadi, pak Hajiii...) 
"Lalu, wakilnya siapa kira-kira yang cocok?" tanya saya.
 "Apaa?" kata dia. (waduh, memang repot kalau diskusi sama lansia bgene hehehee....). 
"Wakilnya, pak Hajeee...?"
"Oooo...kalau itu, katanya masih diserahkan bu Mega," sahut dia. (kata siapa, yakk?? bingung saya)
  
Sebelum saya tambah linglung, datanglah teman pak haji, yang juga bersarung dan berbaju koko. Dan, mereka bersahutan dengan bahasa Madura yang tak saya mengerti sama sekali.
"Pak Haji, saya pulang dulu, ya. Mau ke Pak Udin," pamit saya. Seperti biasa, saya pun salaman.
(Pak Udin itu sesama pedagang benda-benda ajaib gitu, tapi berasal dari Pekalongan. Kiosnya dua rumah di sebelah Haji Said). 
Melangkahlah kaki ke kios Udin di tengah gerimis kecil. Berharap menyambung obrolan lain, yang sebelumnya sudah kami lakukan sebelum saya singgah ke pak Haji. 
Masuk ke kios Udin yang sesak dan berantakan oleh tumpukan mebel dan ceceran mur-baut-paku, dll, yang hidup hanya suara dendang radio dan siaran berita sore di televisi. Sungguh mirip adu balap motor bisingnya. 
Dan, si Udinnya molor lor lor di bangku kayu. Dua jari tangannya mengapit sebatang rokok yang masih menyala setengah. "Kamprett...," pikir saya. (bukan nyumpahin, tapi kata lain dari sial untuk saya sendiri).
"Mas...mas...tak mulih sik, yo," kata saya, setelah ia memicingkan mata. "Oooo...yo. Suwun yoo...," trus merem lagi. (suwun apanya? orang saya cuma mampir)
Hahahaaaa...saya suka "drama" sore itu: tak dibuat-buat, tak berjarak.
Apapun itu...
Ini nyata di Indonesia. Bahwa, tak peduli tua-muda, berpendidikan atau tidak, laki-perempuan, suku anda dari mana, tayangan televisi sungguh sudah merasuk dalam ke alam pikir penonton. 
Yang namanya tayangan atau berita (tv, cetak, daring, dll), hendaknya disiapkan sungguh-sungguh. Sejelas mungkin, agar diterima utuh dan tak disalah-mengerti jutaan pasang mata dengan beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaannya.
    
      

  

Senin, 20 Januari 2014

KLASIK


Besi bercorak sulur ini spesial. Diangkut dari sebuah kios di Kotagede, Yogyakarta, menuju pondok kecil di Pondok Aren, Tangsel, menumpang bagasi pesawat pada tahun 2010. Aslinya penuh karat yang mengelupas. Bopeng-bopeng. Perlu diperhalus sebelum ditimpa cat semprot putih seperti ini. 
Sekilas tak ada guna dan arti membawa besi padat berat jauh-jauh, terutama bagi mereka yang memburu "kekinian" dan sesuatu yang serba instan. Namun, bagi saya, ini salah satu karya jaman yang layak diperjuangkan dikembalikan pada kondisi mendekati semula: kokoh, tahan lama, teruji zaman, dan tak lekang oleh waktu dan selera. 
Kini, di kalangan para pecinta benda-benda era kolonial, bukan masa penjajahannya lho, ya, saksi bisu berupa benda-benda semacam ini diburu. Mungkin, sebagian di antaranya hanya melihat estetikanya, tetapi bagi saya, ini lebih dari itu. Ini sebuah passion atau hasrat pada sesuatu yang klasik: karya berkualitas. Tentu saja, memang indah secara visual (mungkin biasa aja bagi orang lain).   
Mari rayakan kemerdekaan memilih.